Ntvnews.id, Jakarta - Pemerintah menghadapi gelombang penolakan terhadap Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024 yang dinilai mengancam kelangsungan sektor industri hasil tembakau dan berpotensi memicu gejolak ekonomi serta pemutusan hubungan kerja secara masif.
Salah satu pihak yang menyuarakan kekhawatiran ini adalah Aliansi Masyarakat Tembakau Indonesia (AMTI). Ketua Umum AMTI, I Ketut Budhyman, menyampaikan bahwa ruang gerak industri tembakau menjadi terbatas akibat regulasi tersebut, yang berimbas pada penurunan penjualan dan melemahnya permintaan terhadap bahan baku tembakau dari petani.
"Yang pasti ini kan ruang geraknya dibatasi dan membuat ruang gerak industri terbatas. Jadi kalau penjualan nanti menjadi turun, pasti serapan bahan baku juga turun, sehingga berdampak ke para petani. Kemungkinan akan ada pengurangan tenaga kerja juga. Itu sudah umum," ujar I Ketut Budhyman dalam keterangannya, Jumat, 18 Juli 2025.
Budhyman menyoroti bahwa meskipun peraturan ini berfokus pada sektor hilir—seperti pelarangan iklan, penerapan kemasan polos tanpa identitas merek, serta pembatasan radius penjualan rokok—dampaknya tetap merembet hingga ke hulu, termasuk para petani tembakau dan buruh pabrik.
Baca Juga: Perayaan HUT RI di Istana Jakarta, Gibran Sebut IKN Masih Fokus Pembangunan
Ia juga mempertanyakan legitimasi penggunaan Framework Convention on Tobacco Control (FCTC) sebagai acuan hukum dalam penyusunan PP tersebut, mengingat Indonesia belum meratifikasi kesepakatan internasional itu.
"Kalau melihat dari sisi kemandirian, kalau mengadopsi FCTC sebenarnya kan sudah salah, karena kita tidak menandatangani (meratifikasi). Yang jelas industri tembakau ini kontribusinya sangat besar bagi negara," tambahnya.
Budhyman turut menekankan bahwa proses penyusunan regulasi ini minim partisipasi publik dan tidak melibatkan pihak-pihak yang terdampak secara langsung, yang menurutnya melanggar prinsip transparansi dan keterbukaan informasi.
"PP 28/2024 itu tanpa kompromi sama kita, sama yang terdampak, padahal menurut Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik, regulator ini wajib mengikutsertakan pihak yang tertimpa di dalam proses regulasi. ‘Nah itu mereka nggak lakukan," tegasnya.
Baca Juga: Tidak Semua Produk AS Bakal Bebas Tarif, Alkohol dan Daging Babi Tetap Kena Bea Masuk
Penolakan terhadap pasal-pasal tembakau dalam regulasi tersebut kini menggema dari seluruh mata rantai industri—mulai dari petani, buruh, hingga pedagang kecil. "Kalau dilihat, hampir semua yang terdampak sudah bersuara, bereaksi. Dari hulu sampai hilirnya itu sudah bereaksi," katanya lagi.
Budhyman memperingatkan bahwa jika regulasi ini tetap dijalankan tanpa evaluasi atau revisi, dampaknya bisa merusak keseimbangan ekonomi di daerah-daerah yang sangat bergantung pada sektor tembakau.
"Pemerintah ‘kan sudah membuat PP. Artinya kalau penolakan datang dari berbagai pihak, minimal ada revisi, perbaikan atau bagaimana. Tapi memang dari proses awalnya juga sudah tidak ada meaningful participation dari publik," ujarnya.
Pandangan Ekonom: Regulasi Bisa Jadi Penghambat Pertumbuhan
Kritik serupa juga disampaikan oleh ekonom dari Universitas Airlangga, Gigih Prihantono. Ia menilai PP 28/2024 berpotensi menghambat laju ekonomi nasional karena tekanan terhadap industri tembakau justru akan sangat dirasakan oleh petani dan buruh—kelompok paling rentan dalam ekosistem tersebut.
"PP 28/2024 ini semakin memperketat industri tembakau, tapi yang paling terdampak justru petani tembakau dan buruh pabrik. Mereka yang seharusnya jadi perhatian utama dalam kebijakan seperti ini," ungkap Gigih.
Ia mengingatkan bahwa penerimaan negara dari sektor cukai rokok sangat signifikan dan menjadi salah satu tumpuan untuk mencapai target pertumbuhan ekonomi hingga 8 persen. "Kalau itu turun, menurut saya menjadi sinyal yang cukup berbahaya," tambahnya.
Baca Juga: Divonis 4,5 Tahun Penjara, Ini Hal yang Memberatkan Tom Lembong
Gigih menilai bahwa pendekatan yang terlalu represif dalam regulasi justru bisa menjadi kontraproduktif. Ia menyarankan pemerintah fokus memperkuat penegakan aturan yang sudah ada daripada menambah beban baru bagi pelaku industri.
"Daripada membuat regulasi-regulasi yang terus menekan sehingga berdampak pada ekonomi, lebih baik aturan-aturan yang ada itu penegakan hukumnya dijalankan. Tidak usah terlalu banyak regulasi," tegasnya.