Ntvnews.id, Jakarta – Psikolog Klinis Nena Mawar Sari mengingatkan adanya potensi risiko psikologis bagi individu yang terlalu sering mencari dukungan emosional atau curhat kepada kecerdasan buatan (AI), karena respons yang diberikan tidak memiliki sentuhan kemanusiaan.
“Curhat dengan AI itu kan gambaran atau pantulan dari kode atau clue yang kita berikan. Tentu hasil atau feedback yang diberikan tidak ada unsur-unsur humanisnya,” kata Psikolog Klinis Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Wangaya Kota Denpasar, Bali, kepada ANTARA melalui pesan suara, Jumat, 24 Oktober 2025.
Ia menjelaskan, dalam proses curhat, seseorang umumnya memerlukan interaksi yang bersifat timbal balik dan konstan. Namun, saat percakapan dilakukan dengan AI yang tidak mampu menampilkan empati manusiawi, hal tersebut dapat berisiko memunculkan salah tafsir hingga membuat pengguna kehilangan arah emosional.
Baca Juga: AI Bukan Tempat Curhat!
“AI itu sifatnya memberikan pantulan dari apa yang kita butuhkan dan memvalidasi perasaan kita, takutnya ketika momen orang sedang depresi atau yang sedang impulsif itu dijadikan sebagai suatu acuan yang baku atau realistis, dikhawatirkan salah interpretasi, dan tidak ada sentuhan humanistiknya itu menyebabkan 'beberapa kejadian-kejadian yang tidak diinginkan',” ujar Nena.
Nena menambahkan, tanda seseorang sudah mulai bergantung secara emosional pada AI dapat terlihat ketika ia tidak lagi ingin berinteraksi dengan manusia dan lebih banyak menghabiskan waktu bersama ponselnya.
Baca Juga: KPAI Ungkap Anak-anak Dirantai di Boyolali Alami Trauma Psikologis Serius
“Sering mengecek handphone, hal yang sedetail-detailnya pun dia tanyakan pada AI, kemudian dia juga menutup diri dengan orang lain, jadi biasanya akan bersikap antisosial,” ucap Nena.
Sebagai langkah pencegahan, Nena menyarankan agar individu yang merasa kesepian atau tidak memiliki teman curhat mencari bantuan langsung dari tenaga profesional di bidang kesehatan mental, seperti psikolog atau psikiater.
“Dan jika merasa tidak punya teman untuk curhat atau merasa tidak ada yang memahami yang dilakukan adalah lebih baik journaling atau mungkin bisa dengan orang-orang terdekat yang mungkin tidak perlu banyak, tapi cukup 1-2 orang yang dia bisa percaya,” tutur Nena.
(Sumber: Antara)
Ilustrasi seseorang memainkan gawai (ANTARA/Pexels/Monstera Production) (Antara)