Ntvnews.id, Jakarta - Rencana pemerintah untuk merevisi Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja merupakan hal patut didukung semua pihak, baik usaha swasta, instansi pemerintahan, dan badan usaha milik negara (BUMN). Hal tersebut menindaklanjuti data yang dikeluarkan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan pada November 2023 lalu.
Berdasarkan catatan BPJS Ketenagakerjaan, periode 2019 hingga 2023 boleh dibilang sebagai tren terburuk masalah Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3). Deputi BPJS Ketenagakerjaan, Oni Marbun, dalam keterangannya kepada wartawan mengungkapkan, tren tersebut tercermin dari peningkatan jumlah klaim JKK (Jaminan Kecelakaan Kerja) dan JKM (Jaminan Kematian) kepada pihaknya.
Baca Juga:
Andre Taulany Ungkap Dukungan The Prediksi di Tengah Perceraiannya
Maka revisi UU No. 1/1970 menjadi hal yang perlu dilakukan demi menciptakan lingkungan kerja yang sehat dan aman. Harapan, agar dapat mengurangi probabilitas kecelakaan kerja serta penyakit akibat kelalaian yang mengakibatkan demotivasi dan dan defisiensi produktivitas kerja.
Penerapan K3 Tepat Guna, RPJMN Berjalan pada Semestinya (Istimewa)
"Regulasi K3 di Indonesia ini belum di-update sejak 1970. Sudah lebih dari 50 tahun. Sudah sepatutnya memerlukan revisi undang-undang," ungkap Trainer dan Ahli K3 PT. Davai Karya Pratama, Etria Fatrina di kantornya, Rabu (7 Agustus 2024). Menurutnya, meski Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1970 masih bisa dikatakan sejalan (relate) dengan kondisi saat ini, namun tidak bisa dipungkiri bahwa di dunia usaha telah terjadi banyak pembaruan. "Khususnya di sisi peralatan, bahan bangunan, dan teknologi. Perundangan yang saat ini, sifatnya masih general sedangkan setelah 50 tahun berjalan, terjadi spesifikasi. Maka regulasi pun butuh adanya spesifikasi untuk mengikuti perkembangan," ujar Etria.