Ntvnews.id, Jakarta - Mahkamah Konstitusi (MK) dibentuk pada 2003 karena adanya kebutuhan menjawab berbagai persoalan hukum dan ketatanegaraan sebelumnya.
Guna mengatasi berbagai persoalan tersebut, MK diberi mandat oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 (UUD 1945) untuk melaksanakan lima kewenangan konstitusional.
Yakni menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-undang Dasar, memutus pembubaran partai politik serta memutus perselisihan hasil pemilihan umum, dan memberi pendapat kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) terkait dengan pemakzulan presiden dan wakil presiden.
Kewenangan konstitusional yang dimiliki oleh MK tersebut pada dasarnya merupakan pengejawantahan prinsip checks and balances yang bermakna setiap lembaga negara memiliki kedudukan yang setara, sehingga terdapat pengawasan dan keseimbangan dalam penyelenggaraan negara.
Namun, ketika kewenangan MK bertabrakan dengan kewenangan legislatif, apa sesungguhnya yang terjadi?
Hakim Konstitusi 2003-2008, Maruarar Siahaan mengatakan, di dalam organ konstitusi yang ada di seluruh dunia, MK sejatinya disebut "the least dangerous branch", atau paling lemah.
"Dia (MK) tidak punya senjata, tidak punya kantong, tidak punya yang lain-lain, bahkan untuk memaksa putusan itu tidak bisa. Oleh karena itu disebutkan MK paling lemah," ujar Maruarar Siahaan.