Jimly: Hakim PTUN Bisa Ditangkap Kalau Batalkan Pelantikan Gibran

NTVNews - Berita Hari Ini, Terbaru dan Viral - 13 Okt 2024, 13:35
Moh. Rizky
Penulis
Beno Junianto
Editor
Bagikan
Jumlah Asshiddiqie. (Antara) Jumlah Asshiddiqie. (Antara)

Ntvnews.id, Jakarta - Majelis hakim Pengadilan Tata Usaha yang (PTUN) DKI Jakarta akan membacakan putusan gugatan PDI Perjuangan (PDIP) terkait gugatan yang salah satunya mempersoalkan penetapan putra Presiden Joko Widodo (Jokowi) Gibran Rakabuming Raka sebagai cawapres di Pilpres 2024.

Guru Besar Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia (UI) Jimly Asshiddiqie, menilai hakim PTUN bisa dipidana jika amar putusannya memerintahkan untuk membatalkan pelantikan Gibran maupun Prabowo Subianto sebagai pemimpin terpilih RI.

Jimly awalnya menjelaskan bahwa jadwal pelantikan presiden dan wakil presiden tak dapat diganggu gugat. Lembaga mana pun, termasuk PTUN, tak berhak mengubah penetapan yang sudah bersifat konstitusional itu.

"Sebaiknya kita tunggu saja putusannya. Yang jelas, jadwal konstitusional pelantikan presiden atau wakil presiden sudah pasti dan tidak bisa diubah oleh PTUN dan lembaga lain yang tidak punya kewenangan untuk itu," ujar Jimly, dikutip Minggu (13/10/2024).

Jimly menilai, tahapan terkait gugatan Pilpres sudah selesai dan keputusannya bersifat final serta mengikat. Ia mengatakan proses hukum hasil pemilu di antaranya bisa melalui KPU, Bawaslu, DKPP, dan MK.

"Aturan hukum pemilu sudah lengkap, ada KPU, Bawaslu, DKPP, dan MK. Semua urusan Pilpres sudah selesai, final. Ini tegas diatur dalam UUD sebagai hukum tertinggi," papar Jimly.

Diketahui, Mahkamah Konstitusi (MK) telah menolak permohonan gugatan sengketa Pilpres 2024 pasangan capres-cawapres Anies-Cak Imin dan Ganjar-Mahfud MD. Sehingga, Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka dinyatakan sah menjadi presiden dan wakil presiden (wapres) terpilih.

Menurut Jimly, hakim PTUN kerap kali menyalahgunakan kekuasaannya melalui putusan yang diatasnamakan independensi hakim. Dia mengatakan hakim PTUN bisa diproses pidana jika membuat keputusan yang mengacaukan negara, termasuk terkait pelantikan wapres terpilih.

"Iya. Coba bayangkan misalnya hakim pengadilan agama yang kebetulan punya hubungan keluarga dengan seorang wanita yang gugat cerai suaminya, lalu ia mengabulkan gugatan cerai istri ke suaminya yang melakukan KDRT, dan hakim yang bersangkutan menambahkan sanksi pidana penjara 1 tahun untuk si suami. Apa harus dibiarkan ada hakim yang menyalahgunakan kekuasaannya secara semena-mena atas nama kebebasan dan independensi hakim?" papar Jimly.

"Banyak hakim TUN yang ngawur begini, apa mesti dibiarkan? Biar ramai sekali untuk reformasi total peradilan, gampang cari pasalnya untuk menangkap hakim yang bikin kacau negara dan diproses pidana dan etika sekaligus. Biar hakim menilainya sebagai pembelajaran untuk pembenahan dunia hakim," sambung mantan Ketua MK. 

Sebelumnya, PTUN DKI Jakarta akan membacakan putusan gugatan PDIP terkait hasil penetapan Pilpres 2024 pada 4 Oktober 2024. PDIP melalui TPDI sebelumnya melayangkan gugatan ke PTUN Jakarta dengan perkara perbuatan melawan hukum terhadap KPU RI.

Gugatan PDIP itu terdaftar dengan nomor perkara 133/G/2024/PTUN.JKT dengan pihak penggugat PDIP diwakili oleh Megawati Soekarnoputri.

Setidaknya ada empat hal yang diminta penggugat ke PTUN. Mereka pengadilan memerintahkan tergugat untuk menunda pelaksanaan keputusan KPU Nomor 360 tahun 2024 tentang Penetapan Hasil Pemilu Presiden dan Wakil Presiden, anggota DPR, DPRD, DPD, dan seterusnya.

Lalu, meminta PTUN memerintahkan kepada tergugat untuk tidak menerbitkan atau melakukan tindakan administrasi apa pun sampai keputusan yang berkekuatan hukum tetap.

Menyatakan batal keputusan Nomor 360, keputusan KPU Nomor 360 Tahun 2024, dan seterusnya.

Serta, memerintahkan tergugat untuk mencabut kembali keputusan KPU nomor 360 tahun 2024 dan seterusnya serta yang terakhir adalah memerintahkan tergugat untuk melakukan tindakan, mencabut dan mencoret pasangan capres Prabowo dan cawapres Gibran sebagaimana tercantum dalam Keputusan KPU Nomor 360 Tahun 2024.

Halaman
x|close