"PDI Perjuangan ikut berperan dalam proses pembuatan undang-undang ini, bahkan kader PDI Perjuangan, Dolfie OFP, menjadi Ketua Panja RUU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) saat RUU tersebut pertama kali diberi nama, lalu berubah menjadi UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP)," jelas Misbakhun.
Oleh karena itu, dia berpendapat bahwa PDI Perjuangan tidak seharusnya menghindar dari tanggung jawab terhadap kebijakan kenaikan PPN menjadi 12 persen, karena semuanya tercantum dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang HPP yang disahkan pada Oktober 2021.
"PDI Perjuangan sebaiknya tidak mengelak dari kebijakan kenaikan PPN ini, karena mereka terlibat dalam pembahasan UU HPP yang menetapkan kenaikan tarif PPN bertahap, mulai dari 10 persen menjadi 11 persen pada 1 April 2022, dan kemudian naik menjadi 12 persen pada 1 Januari 2025," kata Misbakhun.
Baca juga: PDIP: Bukan Salahkan Prabowo, Tapi Kaji Ulang PPN 12 Persen
Di sisi lain, Misbakhun menjelaskan bahwa Fraksi Golkar telah mengusulkan penurunan tarif pajak untuk usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) menjadi 0,5 persen sebagai bentuk dukungan kepada kelompok UMKM dalam pembahasan RUU HPP yang lalu.
"Fraksi Partai Golkar bahkan tidak dilibatkan dalam beberapa pertemuan lobi mengenai RUU tersebut karena dianggap memberikan banyak argumen kritis terkait beberapa isu penting dalam Daftar Inventarisasi Masalah (DIM)," tambahnya.
Misbakhun menilai bahwa penerapan kenaikan PPN menjadi 12 persen pada 1 Januari 2025 adalah konsekuensi yang harus dijalankan oleh pemerintahan Presiden Prabowo Subianto sesuai dengan amanat UU HPP.