Dulu MK Tak Bolehkan Mahasiswa Gugat Presidential Threshold, Kenapa Sekarang Bisa?

NTVNews - Berita Hari Ini, Terbaru dan Viral - 3 Jan 2025, 09:11
Moh. Rizky
Penulis
Beno Junianto
Editor
Bagikan
Gedung Mahkamah Konstitusi (MK). Gedung Mahkamah Konstitusi (MK). (Antara)

"Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 52/PUU-XX/2022, yang diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum pada tanggal 7 Juli 2022, dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 80/PUU-XXI/2023, yang diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum pada tanggal 14 September 2023," tuturnya.

Diketahui, pemohon dalam gugatan ini ialah Enika Maya Oktavia, Rizki Maulana Syafei, Faisal Nasirul Haq, dan Tsalis Khoirul Fatna. Keempatnya adalah mahasiswa Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga, Yogyakarta.

Berikut alasan lengkap dissenting opinion Daniel dan Anwar Usman:

1. Bahwa perkara yang diajukan pada pokoknya menyangkut pengujian norma Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (selanjutnya disebut UU 7/2017) terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD NRI Tahun 1945). Para Pemohon dalam perkara a quo adalah Enika Maya Oktavia (Pemohon I), Rizki Maulana Syafei (Pemohon II), Faisal Nasirul Haq (Pemohon III), dan Tsalis Khoirul Fatna (Pemohon IV) selaku perorangan warga negara Indonesia yang berstatus sebagai mahasiswa Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta, dan merupakan pemilih yang terdaftar dalam Daftar Pemilih Tetap pada Pemilu Tahun 2024 [vide bukti P-1 hingga bukti P-3]. Adapun bunyi norma a quo yang dimohonkan pengujian menyatakan, “Pasangan Calon diusulkan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik Peserta Pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% (dua puluh lima persen) dari suara sah secara nasional pada Pemilu anggota DPR sebelumnya.”

2. Bahwa untuk menentukan dan menilai apakah pihak dalam permohonan pengujian undang-undang memiliki kedudukan hukum (legal standing) sebagai Pemohon atau tidak, maka pihak tersebut harus dapat menjelaskan kualifikasi dan kerugian konstitusional yang dialami oleh berlakunya suatu undangundang. Dalam hal ini ketentuan Pasal 51 ayat (1) UU MK beserta Penjelasannya telah menggariskan pihak yang dapat mengajukan permohonan pengujian undang-undang ke Mahkamah, dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 006/PUU-III/2005, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 11/PUUV/2007 serta putusan-putusan selanjutnya telah menetapkan 5 (lima) syarat/kriteria kerugian konstitusional yang harus terpenuhi secara kumulatif. Ketatnya penerapan keterpenuhan kualifikasi dan kerugian konstitusional tersebut dimaksudkan agar hanya pihak yang benar-benar mempunyai kepentingan hukum yang cukup yang berkenaan dengan hak konstitusionalnya dapat diberi kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan ke Mahkamah (standing to sue). Hal ini sejalan dengan asas/prinsip universal dalam beracara di pengadilan, yakni tiada gugatan tanpa adanya kepentingan (point d’interet point d’action; zonder belang geen rechtsingang). Oleh karenanya, pemohon dalam perkara pengujian undang-undang harus menerangkan secara jelas tentang kualifikasi dan keterpenuhan seluruh persyaratan kedudukan hukum dalam Pasal 51 ayat (1) UU MK beserta Penjelasannya, dan yurisprudensi putusan-putusan Mahkamah.

3. Bahwa berkenaan dengan pengujian norma Pasal 222 UU 7/2017 yang dimohonkan pengujian sebanyak 33 kali, Mahkamah pada pokoknya telah menegaskan bahwa pihak yang memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan pengujian norma a quo adalah: (i) partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu; dan (ii) perseorangan warga negara yang memiliki hak untuk dipilih dan didukung oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu untuk mencalonkan diri atau dicalonkan sebagai pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden atau menyertakan partai politik pendukung untuk secara bersama-sama mengajukan permohonan. Pendirian Mahkamah tersebut telah dituangkan dalam putusan-putusan sebelumnya, antara lain, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 74/PUU-XVIII/2020, yang diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum pada tanggal 14 Januari 2021, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 66/PUU-XIX/2021, yang diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum pada tanggal 24 Februari 2022, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 52/PUU-XX/2022, yang diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum pada tanggal 7 Juli 2022, dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 80/PUU-XXI/2023, yang diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum pada tanggal 14 September 2023.

4. Bahwa pembatasan pihak yang dapat memohonkan pengujian norma Pasal 222 UU 7/2017 bukan berarti bahwa norma a quo “kebal” (immune) untuk diuji, melainkan karena tiadanya kerugian konstitusional pemohon perseorangan warga negara Indonesia in casu para Pemohon a quo dan/atau badan hukum selain pihak-pihak sebagaimana telah disebutkan pada angka 3 di atas oleh berlakunya norma a quo. Hal inilah yang telah berulang kali ditegaskan dalam pertimbangan hukum seluruh putusan Mahkamah mengenai pengujian norma a quo. Pendirian Mahkamah ini pula yang kembali kami pegang teguh saat memutus permohonan pengujian Pasal 169 huruf n, Pasal 222, dan Pasal 227 huruf i UU 7/2017 dengan mengajukan pendapat berbeda (dissenting opinion) dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 4/PUU-XXI/2023, yang diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum pada tanggal 28 Februari 2023. Oleh karenanya, dalam kesempatan ini, sekali lagi, kami hendak menegaskan sikap dan pendirian sebagai hakim konstitusi bahwa norma Pasal 222 UU 7/2017 hanya dapat dimohonkan pengujian pihak-pihak sebagaimana telah disebutkan pada angka 3 di atas.

Halaman
x|close