Dulu MK Tak Bolehkan Mahasiswa Gugat Presidential Threshold, Kenapa Sekarang Bisa?

NTVNews - Berita Hari Ini, Terbaru dan Viral - 3 Jan 2025, 09:11
Moh. Rizky
Penulis
Beno Junianto
Editor
Bagikan
Gedung Mahkamah Konstitusi (MK). Gedung Mahkamah Konstitusi (MK). (Antara)

5. Bahwa lebih lanjut, melalui Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 85/PUUXX/2022, yang diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum pada tanggal 29 September 2022, Mahkamah pada pokoknya tidak lagi membedakan antara rezim pemilihan antara pemilihan kepala daerah (pilkada) dengan rezim pemilu, sehingga keduanya adalah sama. Sejalan dengan hal tersebut, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 52/PUU-XXII/2024, yang diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum pada tanggal 20 Agustus 2024, telah memuat pesan/perintah (judicial order) agar dilakukan harmonisasi dan sinkronisasi antara undang-undang pemilu dan undang-undang pilkada hingga peraturan perundang-undangan di bawahnya, sehingga penyelenggaraan pemilu dapat berlangsung secara demokratis, jujur, dan adil serta berkepastian hukum sebagaimana dijamin dalam Pasal 18 ayat (4), Pasal 22E ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945. Hal tersebut secara tegas termaktub dalam pertimbangan hukum paragraf [3.15] dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 52/PUU-XXII/2024, hlm. 56, yang menyatakan, “[3.15]... Berkenaan dengan dalil para Pemohon a quo, Mahkamah telah menegaskan dalam Sub-paragraf [3.13.2] bahwa tidak terdapat lagi perbedaan rezim pemilihan antara pilkada dan pemilu. Oleh karena itu, ke depan pembentuk undang-undang perlu melakukan harmonisasi dan sinkronisasi antara undang-undang pemilu dan undang-undang pemilihan kepala daerah yang selanjutnya diikuti dengan harmonisasi dan sinkronisasi hingga peraturan perundangundangan di bawahnya sehingga penyelenggaraan pemilu dapat berlangsung secara demokratis, jujur dan adil serta berkepastian hukum sebagaimana dijamin dalam Pasal 18 ayat (4), Pasal 22E ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945." Dengan adanya pesan/perintah (judicial order) dalam putusan tersebut, maka desain pengaturan mengenai pendaftaran partai politik peserta pemilu, persyaratan calon dan dukungan, penetapan peserta pemilu, pemungutan dan rekapitulasi hasil penghitungan suara hingga pelantikan dapat ditinjau ulang oleh pembentuk undang-undang in casu DPR dan Pemerintah, termasuk norma a quo yang menyangkut ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden (presidential threshold). Terlebih lagi, setelah dilantiknya Presiden dan Wakil Presiden serta anggota DPR dan DPD periode 2024-2029, pembentuk undangundang sesungguhnya memiliki waktu yang sangat memadai untuk melakukan pembahasan dalam rangka harmonisasi dan sinkronisasi dimaksud. Oleh karena itu, dengan menelusuri jejak pendirian Mahkamah secara utuh dan komprehensif dalam putusan-putusan sebelumnya yang menolak permohonan pengujian Pasal 222 UU 7/2017, Mahkamah perlu melakukan pengendalian diri (restraint) dari kecenderungan untuk “menilai” kembali konstitusionalitas norma a quo pada saat ini dengan menyerahkan kepada pembentuk undang-undang. Mahkamah dalam fungsinya sebagai pengawal konstitusi tidak diperkenankan membatalkan undang-undang atau sebagian isinya, jikalau norma tersebut merupakan delegasi kewenangan terbuka yang dapat ditentukan sebagai legal policy oleh pembentuk undang-undang. Apalagi jika produk legal policy tersebut tidak melanggar moralitas, rasionalitas dan ketidakadilan yang intolerable. Pandangan hukum tentang legal policy demikian, sejalan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 010/PUU-III/2005 bertanggal 31 Mei 2005 yang menyatakan, “sepanjang pilihan kebijakan tidak merupakan hal yang melampaui kewenangan pembentuk undang-undang, tidak merupakan penyalahgunaan kewenangan, serta tidak nyata-nyata bertentangan dengan UUD 1945, maka pilihan kebijakan demikian tidak dapat dibatalkan oleh Mahkamah.”

6. Bahwa sementara itu, dalam rentang waktu yang cenderung berdekatan dengan permohonan para Pemohon dalam perkara a quo, pengujian norma a quo juga dimohonkan dalam beberapa perkara lainnya sebagaimana diregistrasi dalam Perkara Nomor 87/PUU-XXII/2024 yang diajukan oleh 4 (empat) orang dosen yang tercatat sebagai pemilih aktif dalam kontestasi pemilu, Perkara Nomor 101/PUU-XXII/2024 yang diajukan oleh sebuah badan hukum yayasan dan seorang warga negara Indonesia penggiat pemilu, serta Perkara Nomor 129/PUU-XXII/2024 yang diajukan oleh seorang warga negara Indonesia yang memiliki hak pilih. Oleh karena adanya kesamaan norma yang dimohonkan pengujian dan kualifikasi pihak yang mengajukan permohonan yang dalam hal ini adalah perorangan warga negara Indonesia yang memiliki hak pilih dan organisasi yang concern di bidang pemilu, namun bukan pihak-pihak yang memenuhi kualifikasi sebagaimana telah disebutkan pada angka 3 di atas, maka pendapat berbeda (dissenting opinion) ini juga diarahkan pada perkara-perkara dimaksud.

7. Bahwa berdasarkan seluruh uraian pertimbangan hukum di atas, kami berpendapat bahwa Mahkamah seharusnya menyatakan para Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum dan oleh karenanya permohonan para Pemohon tidak dapat diterima (niet ontvankelijke verklaard).

Adapun Hakim Konstitusi Daniel dan Anwar, memiliki pandangan berbeda dengan tujuh hakim konstitusi lainnya yang juga mengadili perkara ini. Antara lain Suhartoyo selaku ketua majelis hakim merangkap anggota, Saldi Isra, M. Guntur Hamzah, Arsul Sani, Arief Hidayat, Enny Nurbaningsih, dan Ridwan Mansyur, masing-masing sebagai anggota.

Halaman
x|close