Ntvnews.id, Washington DC - Jumlah pemutusan hubungan kerja (PHK) yang diumumkan oleh perusahaan di Amerika Serikat (AS) melonjak tajam, mencapai tingkat yang belum terlihat sejak dua resesi terakhir.
Lonjakan ini semakin diperburuk oleh PHK massal yang dilakukan pemerintah federal setelah Donald Trump secara resmi menjabat sebagai Presiden AS.
Dilansir dari Reuters, Jumat, 7 Maret 2025, pembatalan kontrak pegawai pemerintah federal serta meningkatnya kekhawatiran akan perang dagang menjadi indikator utama dampak kebijakan pemerintahan Trump terhadap pasar tenaga kerja.
Perusahaan penempatan kerja global, Challenger, Gray & Christmas, melaporkan bahwa jumlah PHK yang direncanakan melonjak 245% menjadi 172.017 pada bulan lalu. Angka ini merupakan yang tertinggi sejak Juli 2020, ketika ekonomi mengalami krisis akibat pandemi COVID-19.
Baca Juga: Amerika Serikat Kerahkan Rudalnya ke Filipina, China Geram
Selain itu, jumlah PHK pada Februari ini juga merupakan yang tertinggi sejak Resesi Hebat yang terjadi 16 tahun lalu. Pemerintah menjadi penyumbang terbesar angka PHK ini, dengan catatan 62.242 pegawai yang diberhentikan dari 17 lembaga federal berbeda, menurut data dari Challenger.
Secara keseluruhan, pemerintah telah memberhentikan sekitar 62.530 pekerja dalam dua bulan pertama tahun ini, meningkat drastis sebesar 41.311% dibandingkan periode yang sama pada tahun 2024.
"Ketika terjadi PHK massal, karyawan yang masih bertahan sering kali merasa tidak aman dan tidak nyaman," ujar Andrew Challenger, Wakil Presiden Senior di Challenger, Gray & Christmas.
"Kemungkinan pekerja mengundurkan diri secara sukarela juga meningkat secara signifikan," tambahnya.
Departemen Efisiensi Pemerintah (DOGE), yang diketuai oleh miliarder teknologi Elon Musk, tengah melakukan pemangkasan besar-besaran dalam belanja publik. Langkah ini mengakibatkan pemotongan dana, pengurangan anggaran besar-besaran, serta PHK terhadap ribuan pegawai federal, termasuk ilmuwan dan penjaga hutan. Trump sendiri menggambarkan pemerintah federal sebagai lembaga yang terlalu besar dan boros.
Minggu lalu, seorang hakim federal untuk sementara memblokir upaya pemerintahan Trump yang memerintahkan Departemen Pertahanan dan berbagai lembaga federal lainnya untuk melakukan PHK massal terhadap ribuan pegawai yang baru direkrut.
Baca Juga: Kotak Hitam American Airlines dan Helikopter Militer yang Kecelakaan di Amerika Belum Ditemukan
Selain pegawai federal, kontraktor pemerintah juga terdampak kebijakan DOGE, yang memperluas PHK ke sektor swasta. Kebijakan tarif yang diterapkan atau diancam oleh Gedung Putih turut memperburuk situasi, menyebabkan semakin banyak perusahaan merumahkan karyawannya bulan lalu.
Challenger melaporkan bahwa "dampak DOGE" menjadi faktor utama di balik gelombang PHK, yang mencapai 63.583 kasus, termasuk tenaga kerja federal dan kontraktor. Efek domino dari kebijakan ini, seperti hilangnya pendanaan bagi lembaga nirlaba swasta, menyebabkan tambahan 894 PHK.
Sebagian besar PHK di sektor pemerintah federal terjadi di Washington, D.C., yang tahun ini telah kehilangan 61.795 pekerjaan—lonjakan drastis dibandingkan hanya 60 PHK pada 2024.
Di luar sektor pemerintahan, PHK juga terjadi di berbagai industri lain, termasuk ritel, teknologi, layanan, dan produk konsumen.
PHK massal di pemerintahan federal diperkirakan tidak akan tercatat dalam laporan ketenagakerjaan bulan Februari, yang dijadwalkan rilis pada hari Jumat, karena terjadi di luar periode survei.
Namun, pembekuan rekrutmen dan pemotongan anggaran diprediksi akan berdampak signifikan terhadap ketenagakerjaan pemerintah dan kontraktor.
Survei Reuters terhadap ekonom memperkirakan jumlah pekerja nonpertanian akan bertambah sebanyak 160.000, setelah peningkatan 143.000 pada bulan Januari. Sementara itu, tingkat pengangguran diperkirakan tetap stabil di angka 4,0%.