Ntvnews.id, Jakarta - Suasana Pulau Wayag yang biasanya tenang dan indah mendadak berubah mencekam. Sejumlah masyarakat adat dari suku Kawei secara tegas menutup akses wisata dan mengusir turis dari pulau ikonik Raja Ampat itu, sebagai bentuk penolakan atas rencana pencabutan izin tambang sejumlah perusahaan.
Dalam video yang viral di media sosial, terlihat warga adat mendatangi kapal wisatawan, meneriakkan protes keras, bahkan merusak perahu yang hendak digunakan berwisata. Aksi itu menuai sorotan luas, tetapi bagi masyarakat adat, ini bukan sekadar kemarahan, melainkan perlawanan terhadap ketidakadilan yang mereka rasakan.
Pemicu utama ketegangan ini adalah keputusan pemerintah pusat yang mencabut izin usaha pertambangan (IUP) empat perusahaan nikel yang beroperasi di wilayah adat mereka, termasuk PT Kawei Sejahtera Mining (KSM) yang berada di Pulau Kawe.
Perusahaan ini telah menjalin kesepakatan langsung dengan pemilik hak ulayat dari empat marga, yaitu Ayelo, Daat, Ayei, dan Arempele.
View this post on Instagram
“Kami tidak mengganggu wisata, tapi kenapa atas nama pariwisata justru mau mengganggu perusahaan kami yang telah kami perjuangkan demi masa depan anak cucu kami,” ujar Luther Ayelo, tokoh adat sekaligus pemilik hak ulayat Pulau Wayag.
Masyarakat adat menilai, selama ini sektor pariwisata konservasi hanya sedikit memberikan manfaat langsung bagi ekonomi lokal. Berbeda halnya dengan tambang, yang dinilai mampu membuka lapangan kerja dan memberikan penghasilan riil bagi warga sekitar.
Mereka merasa dirugikan karena aspirasi mereka seolah tidak dihitung dalam pengambilan kebijakan pusat. Puluhan warga dari empat marga pun memalang pintu masuk ke kawasan wisata Wayag sejak Senin, 9 Juni 2025.
Akses masuk ditutup total dan seluruh kegiatan wisatawan dihentikan. Situasi ini membuat banyak pihak bingung, karena Raja Ampat selama ini dikenal sebagai destinasi dunia yang menjual harmoni antara ekowisata dan kearifan lokal.
Di tengah aksi tersebut, masyarakat adat juga menyampaikan kekecewaan atas beredarnya konten-konten manipulatif di media sosial yang menyudutkan gerakan mereka. Mereka merasa perjuangan mereka dikerdilkan dan dipelintir menjadi bentuk anarkisme, padahal menurut mereka, ini adalah upaya mempertahankan hak hidup di atas tanah warisan leluhur.