Tersangka Pemerasan di Kemnaker Masih Ditanya Hal Normatif oleh KPK

NTVNews - Berita Hari Ini, Terbaru dan Viral - 18 Jun 2025, 17:57
thumbnail-author
Moh. Rizky
Penulis
thumbnail-author
Tasya Paramitha
Editor
Bagikan
Staf Ahli Menteri Ketenagakerjaan Bidang Hubungan Internasional Haryanto. (Antara) Staf Ahli Menteri Ketenagakerjaan Bidang Hubungan Internasional Haryanto. (Antara)

Ntvnews.id, Jakarta - Tersangka kasus dugaan pemerasan dalam pengurusan izin kerja atau rencana penggunaan tenaga kerja asing (RPTKA), Haryanto, mengaku masih ditanya hal yang normatif oleh penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

“Biasa, kami (ditanya) normatif saja,” kata Haryanto setelah diperiksa penyidik KPK dan pergi meninggalkan Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Rabu, 18 Juni 2025.

Mantan Staf Ahli Menteri Ketenagakerjaan Bidang Hubungan Internasional pada masa Menaker Yassierli ini juga mengaku masih ditanya pertanyaan yang sama pada saat diperiksa oleh penyidik KPK beberapa waktu lalu.

Adapun Haryanto tiba di Gedung Merah Putih KPK pada pukul 09.48 WIB. Haryanto pergi meninggalkan gedung tersebut pada pukul 14.50 WIB.

Sementara, kuasa hukum Haryanto, Erry Gunari Prakasa, menjelaskan kliennya hanya melengkapi keterangan saat diperiksa penyidik KPK.

Ia pun mengatakan bahwa kliennya akan diperiksa oleh penyidik KPK sebagai saksi, bukan tersangka, pada pemeriksaan berikutnya.

“Sebagai saksi untuk minggu depan. Hari ini sebagai tersangka,” ujar Erry.

Diketahui, KPK pada 5 Juni 2025 mengungkapkan identitas delapan orang tersangka kasus pemerasan dalam pengurusan RPTKA di Kemenaker, yakni aparatur sipil negara (ASN) di Kemenaker bernama Suhartono, Haryanto, Wisnu Pramono, Devi Anggraeni, Gatot Widiartono, Putri Citra Wahyoe, Jamal Shodiqin, dan Alfa Eshad.

Menurut KPK, para tersangka dalam kurun waktu 2019–2024 telah mengumpulkan sekitar Rp53,7 miliar dari pemerasan pengurusan RPTKA.

KPK menjelaskan bahwa RPTKA merupakan persyaratan yang harus dipenuhi oleh tenaga kerja asing agar dapat bekerja di Indonesia.

Jika RPTKA tidak diterbitkan oleh Kemenaker, penerbitan izin kerja dan izin tinggal akan terhambat sehingga para tenaga kerja asing akan dikenai denda sebesar Rp1 juta per hari. Dengan begitu, pemohon RPTKA terpaksa memberikan uang kepada tersangka.

Di samping itu, KPK mengungkapkan bahwa kasus pemerasan pengurusan RPTKA tersebut diduga terjadi sejak era Abdul Muhaimin Iskandar atau Cak Imin menjabat Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi pada periode 2009–2014, yang kemudian dilanjutkan Hanif Dhakiri pada 2014–2019, dan Ida Fauziyah pada 2019–2024.

Tags

x|close