Ntvnews.id, Jakarta - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyita 10 aset senilai sekitar Rp6,5 miliar yang diduga berkaitan dengan kasus pemerasan dalam proses pengurusan izin kerja atau rencana penggunaan tenaga kerja asing (RPTKA) di lingkungan Kementerian Ketenagakerjaan.
“Pada hari ini dilakukan penyitaan atas aset dari para tersangka pada perkara pemerasan di Kemenaker,” ucap Budi Prasetyo Juru Bicara KPK, Selasa, 8 Juli 2025 di Jakarta.
Lebih lanjut, Budi menjelaskan bahwa sepuluh aset yang disita tersebut mencakup dua unit rumah dengan estimasi nilai sekitar Rp1,5 miliar, empat unit bangunan kontrakan dan kos-kosan senilai sekitar Rp3 miliar, serta empat bidang tanah yang saat ini ditaksir bernilai Rp2 miliar.
“Tanah dan bangunan tersebut tersebar di Depok dan Bekasi, Jawa Barat,” katanya.
Tak hanya menyita aset bernilai miliaran rupiah, penyidik KPK juga mengamankan uang tunai sebesar Rp100 juta dari tangan para tersangka dalam kasus ini.
Sebelumnya, pada 5 Juni 2025, KPK telah mengungkap delapan tersangka yang terlibat dalam kasus dugaan pemerasan terkait pengurusan Rencana Penggunaan Tenaga Kerja Asing (RPTKA) di Kementerian Ketenagakerjaan. Mereka adalah aparatur sipil negara (ASN) Kemenaker bernama Suhartono, Haryanto, Wisnu Pramono, Devi Anggraeni, Gatot Widiartono, Putri Citra Wahyoe, Jamal Shodiqin, dan Alfa Eshad.
KPK mengungkapkan bahwa sepanjang periode 2019 hingga 2024, para tersangka diduga telah mengumpulkan dana sebesar Rp53,7 miliar dari praktik pemerasan dalam proses pengurusan RPTKA.
KPK menerangkan bahwa Rencana Penggunaan Tenaga Kerja Asing (RPTKA) merupakan dokumen wajib yang harus dimiliki oleh tenaga kerja asing sebelum mereka dapat bekerja secara legal di Indonesia. Tanpa dokumen ini, proses penerbitan izin kerja dan izin tinggal akan terhambat, dan setiap hari keterlambatan akan dikenakan denda sebesar Rp1 juta. Situasi inilah yang membuat para pemohon RPTKA terpaksa menyerahkan sejumlah uang kepada para tersangka demi mempercepat proses penerbitan izin tersebut.
Lebih lanjut, KPK juga mengungkap bahwa praktik dugaan pemerasan ini telah berlangsung sejak masa kepemimpinan Abdul Muhaimin Iskandar (Cak Imin) sebagai Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi pada periode 2009–2014, lalu berlanjut di era Hanif Dhakiri (2014–2019), dan terus berlanjut hingga kepemimpinan Ida Fauziyah pada periode 2019–2024.
Baca juga: Usut Tuntas Kasus Gratifikasi MPR RI, KPK Mulai Periksa Pihak Swasta
(Sumber: Antara)