Ntvnews.id, Jakarta - Kelompok paramiliter Pasukan Dukungan Cepat (RSF) dituduh melakukan pembantaian massal di Kordofan Utara, Sudan, yang menewaskan hampir 300 warga sipil, termasuk anak-anak dan perempuan hamil.
Dilansir dari Al Jazeera, Jumat, 18 Juli 2025, tuduhan ini disampaikan oleh kelompok pengacara hak asasi manusia, Emergency Lawyers, di tengah meningkatnya konflik bersenjata di wilayah barat negara tersebut.
Dalam pernyataannya, Emergency Lawyers menyebut RSF menyerang sejumlah desa pada Sabtu lalu di sekitar kota Bara, yang kini berada di bawah kendali pasukan paramiliter. Di Desa Shag Alnom, setidaknya 200 orang tewas dalam insiden yang digambarkan sebagai "pembantaian mengerikan". Menurut kelompok tersebut, para korban dibakar hidup-hidup di dalam rumah atau ditembak di tempat.
"Telah terbukti bahwa desa-desa ini tidak memiliki sasaran militer. Ini menegaskan sifat kriminal dari serangan tersebut yang sepenuhnya melanggar hukum humaniter internasional," tegas Emergency Lawyers dalam pernyataan resminya, sambil menuding pimpinan RSF sebagai pihak yang harus bertanggung jawab.
Baca Juga: 3 Hari Serangan Kelompok RSF di Sudan Tewaskan Lebih dari 200 Warga
Kekerasan berlanjut keesokan harinya di Desa Hilat Hamid, di mana sedikitnya 46 warga sipil tewas, termasuk perempuan hamil dan anak-anak.
Menurut Organisasi Internasional untuk Migrasi (IOM), lebih dari 3.000 warga telah mengungsi dari Shag Alnom dan al-Kordi akibat serangan tersebut, dan kini mencari perlindungan di sekitar kota Bara.
Tindakan brutal ini menambah daftar panjang pelanggaran HAM yang dituduhkan kepada RSF. Amerika Serikat dan sejumlah organisasi internasional menuding kelompok ini telah melakukan kejahatan perang, kejahatan terhadap kemanusiaan, hingga genosida di berbagai wilayah Sudan.
Pemimpin RSF mengklaim akan mengadili siapa pun yang terbukti bersalah, namun sejauh ini dunia internasional belum melihat adanya proses akuntabilitas yang nyata.
Baca Juga: Bejat! 26 Pria Diduga Perkosa Siswi Kelas 6 SD di Sultra, Sudan Lapor Polisi Tapi Belum Ditangkap
Sejak pecahnya konflik bersenjata antara militer Sudan dan RSF pada 2023, negara ini menghadapi salah satu krisis kemanusiaan terbesar di dunia. Sedikitnya 40.000 orang dilaporkan tewas, lebih dari 13 juta mengungsi, dan lebih dari separuh populasi Sudan terancam kelaparan serta rentan terhadap penyakit seperti kolera.
Jaksa senior Mahkamah Pidana Internasional (ICC), Nazhat Shameem Khan, melaporkan kepada Dewan Keamanan PBB bahwa kantornya memiliki "alasan kuat" untuk meyakini kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan sedang berlangsung di Darfur Barat.
"Orang-orang kekurangan air dan makanan. Pemerkosaan dan kekerasan seksual dijadikan senjata. Penculikan untuk tebusan telah menjadi praktik umum," ujar Khan dalam laporannya, menggambarkan penderitaan yang "telah mencapai titik tak tertahankan".
ICC kini memfokuskan penyelidikannya pada kejahatan di Darfur Barat, termasuk dengan mewawancarai para korban yang melarikan diri ke Chad.