Ntvnews.id, Jakarta - Siswa SMAN 6, Kabupaten Garut, Jawa Barat gantung diri di rumahnya, Senin, 14 Juli 2025. Korban berinisial P (16), diduga bunuh diri karena di-bully atau jadi korban perundungan teman sekolahnya.
Peristiwa itu berlangsung pada hari pertama masuk sekolah, pasca libur kenaikan kelas. Diduga pelajar tersebut mengalami tekanan berat, akibat perundungan fisik dan verbal di sekolahnya sejak Juni 2025.
Ketua DPR RI Puan Maharani menyampaikan duka cita mendalam atas peristiwa ini. Ia menilai penting reformasi perlindungan psikososial di lingkungan pendidikan.
“Tentunya kami sangat berduka cita atas peristiwa memilukan ini. Kita berharap ke depan tidak ada lagi terjadi peristiwa semacam ini,” ujar Puan, Selasa, 22 Juli 2025.
Puan menilai, peristiwa itu tak bisa dianggap sebagai kasus tunggal semata. Tapi cerminan dari krisis sistemik yang menghantui sekolah-sekolah di Tanah Air.
“Ini adalah peringatan keras bahwa sistem deteksi dan intervensi dini terhadap kekerasan di sekolah masih jauh dari memadai,” jelas dia.
Menurut keluarga, korban mengalami tekanan psikologis akibat perundungan yang terus menerus. Hal ini, kata Puan, memperkuat desakan publik agar sistem perlindungan anak di sekolah segera diperkuat.
“Dibutuhkan pembenahan menyeluruh yang menyasar kelemahan struktural, termasuk minimnya kapasitas guru dalam menangani dinamika psikologis siswa, absennya konselor profesional di banyak sekolah, dan lemahnya kanal pelaporan yang ramah anak,” jelas Puan.
Ia memandang, penyelesaian kasus bullying tak cukup dengan pendekatan insidental, namun harus menyentuh akar struktural dan budaya sekolah.
“Kehadiran konselor psikologis profesional merupakan hal wajib yang harus ada di setiap sekolah menengah, bukan sekadar guru BK tanpa pelatihan psikologi mendalam,” kata Puan.
Puan pun menekankan perlunya pelatihan berkala bagi para guru dan tenaga kependidikan dalam mengenali gejala gangguan psikososial dan potensi kekerasan di lingkungan kelas.
"Harus dilakukan pelatihan berkala untuk guru dan tenaga kependidikan dalam mendeteksi gejala gangguan psikososial, depresi, dan potensi kekerasan sosial di kelas," kata dia.
Mengacu data Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI), kata dia menunjukkan bahwa kekerasan di dunia pendidikan terus meningkat setiap tahun. Tercatat, pada 2024 terdapat lonjakan tertinggi dengan 573 kasus kekerasan, naik drastis dari 285 kasus pada 2023.
“Kita tidak bisa menormalisasi bullying dengan dalih kenakalan remaja. Pembenahan terstruktur dalam mengatasi fenomena bullying di sekolah harus dilakukan segera demi masa depan generasi bangsa,” jelas Puan.
Atas itu, ia mendorong pembentukan Satuan Tugas Perlindungan Anak dan Remaja di Sekolah (Satgas PARS) dengan pendekatan lintas sektor, melibatkan psikolog, tokoh masyarakat, serta dinas pendidikan dan perlindungan anak.
“Kami mendorong pemerintah mempertimbangkan pembentukan Satgas PARS yang akan melakukan inspeksi berkala serta pendampingan di sekolah-sekolah yang berada di zona rawan kekerasan,” tandasnya.