Ntvnews.id, Jakarta - Menteri Hukum (Menkum) Supratman Andi Agtas mengimbau para pelaku usaha, mulai dari hotel, restoran, hingga pusat perbelanjaan, untuk membayar royalti atas pemutaran musik di ruang-ruang komersial. Ia menekankan pentingnya menghargai hak ekonomi para pencipta lagu dan pemilik hak terkait.
"Belajarlah menghargai hak orang lain, itu yang paling penting," ujar Supratman dilansir Antara di Jakarta, Selasa, 5 Agustus 2025.
Menurut Supratman, penggunaan musik di ruang publik oleh pelaku usaha tergolong aktivitas komersial yang seharusnya memberikan manfaat ekonomi bagi pencipta. Karena itu, pembayaran royalti bukanlah kewajiban kepada negara, melainkan bentuk penghormatan terhadap hak kekayaan intelektual.
Dalam kesempatan tersebut, Supratman menegaskan bahwa pemerintah, khususnya Kementerian Hukum dan HAM, tidak mengambil keuntungan dari skema royalti tersebut. “Tidak ada kepentingan Kementerian Hukum di dalamnya,” ujarnya, sambil menekankan bahwa seluruh royalti sepenuhnya ditujukan untuk para pemilik hak cipta dan hak terkait.
Ia juga menyinggung sejarah penarikan royalti oleh Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN). Di awal pemberlakuan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta, jumlah royalti yang terkumpul hanya berkisar Rp400 juta per tahun. Kini, angka itu melonjak drastis menjadi sekitar Rp200 miliar per tahun.
Meski demikian, Supratman mengakui bahwa masih banyak pelaku musik yang menerima royalti dalam jumlah sangat kecil.
"Ada yang hanya menerima Rp60 ribu per tahun," ungkapnya. "Kondisi ini berbeda dengan grup, penyanyi, atau pencipta lagu yang namanya sudah besar dan melejit," lanjutnya.
Ia menambahkan bahwa perjuangan pemerintah saat ini adalah memastikan keadilan bagi seluruh pencipta, bukan hanya mereka yang sudah populer di industri.
Kepada masyarakat umum yang menikmati musik di ruang publik, Menkum memastikan bahwa mereka tidak akan dibebani pungutan apapun. Kewajiban pembayaran royalti sepenuhnya menjadi tanggung jawab pelaku usaha.
Sementara bagi pelaku usaha kecil dan menengah (UMKM), Supratman membuka ruang negosiasi tarif.
"Kalau belum mampu, negosiasi dengan LMKN, karena itu kan ada UU-nya, peraturan pemerintah (PP)-nya, dan peraturan menteri (permen)-nya. Bicarakan baik-baik, yang terpenting ada kesadaran kolektif," tegasnya.