OC Kaligis Heran, Ada Orang jadi Terdakwa Gegara Pasang Patok di Rumah Sendiri

NTVNews - Berita Hari Ini, Terbaru dan Viral - 13 Agu 2025, 22:00
thumbnail-author
Moh. Rizky
Penulis
thumbnail-author
Tasya Paramitha
Editor
Bagikan
OC Kaligis heran kliennya dijadikan terdakwa gara-gara memasang patok di area IUP-nya sendiri. OC Kaligis heran kliennya dijadikan terdakwa gara-gara memasang patok di area IUP-nya sendiri.

Ntvnews.id, Jakarta - Pengacara ternama Otto Cornelis (OC) Kaligis mengajukan nota keberatan atas dakwaan jaksa, dalam perkara dugaan kriminalisasi yang menjerat kliennya, Awwab Hafidz dan Marsel Bialembang, yang merupakan pegawai PT Wana Kencana Mineral (WKM). Eksepsi diajukan Kaligis, usai pembacaan dakwaan jaksa penuntut umum (JPU) terhadap dua terdakwa, yang dituduh memasang patok di area Izin Usaha Pertambangan (IUP) milik PT WKM sendiri, di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Rabu, 13 Agustus 2025.

Dalam nota keberatan yang diberi judul “Pemasangan Patok di Rumah Sendiri yang Membawa Bencana”, Kaligis mengungkapkan sejumlah fakta yuridis mulai dari Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang tidak berwenang mengadili perkara kliennya, hingga dakwaan jaksa yang error in persona dan kabur atau obscuur libel.

Dijelaskannya, secara kompetensi relatif, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tidak berwenang untuk memeriksa dan mengadili perkara kedua kliennya tersebut.

“Karena tempat kejadian perkara atau locus delicti bertempat di lokasi Station KM 11, 450 di Kabupaten Halmahera Timur Provinsi Maluku Utara, sedangkan klien kami atau para terdakwa bertempat tinggal di Kabupaten Halmahera Timur, Provinsi Maluku Utara," ujar Kaligis.

"Tidak hanya itu, saksi-saksi yang melihat langsung kejadian perkara justru bekerja dan berkediaman dekat dengan tempat kejadian perkara locus delicti yakni di Kabupaten Halmahera Timur Propinsi Maluku Utara,” imbuhnya.

Oleh karena itu, kata dia yuridiksi kewenangan memeriksa dan mengadili perkara tersebut, adalah Kejaksaan Negeri Halmahera Timur dan Pengadilan Negeri Soasio.

Sedangkan keberatan kedua, pelapor, dalam hal ini PT P, tidak memiliki legal standing dalam mengajukan laporan polisi. “Pelapor tidak memiliki IUP di wilayah tempat obyek perkara. Klien kami yang menjadi terdakwa mematok di daerah IUP milik PT Wana Kemcana Mineral sendiri, tempat para terdakwa bekerja, berdasarkan Keputusan Gubernur Maluku Utara No.299/KPTS/MU/2016 Tentang Persetujuan Penciutan Izin Usaha Pertambangan (IUP) Operasi Produksi Logam Nikel PT. Wana Kencana Mineral dengan luas areal 24,700 hektare,” papar Kaligis.

Bahkan, PT P telah mengakui melakukan bukaan lahan di daerah IUP PT Wana Kencana Mineral berdasarkan MOM (Minutes Of Meeting) tertanggal 13 Februari 2025. Ditambahkannya, PT P justru adalah pelaku tindak pidana di daerah IUP PT Wana Kencana Mineral, berdasarkan Laporan Hasil Pengaduan Dugaan Bukaan Lahan dan Pengambilan Material di Kawasan Hutan di Kabupaten Halmahera Timur Provinsi Maluku Timur, yang dibuat Gakkum Kementerian Kehutanan.

“Laporan polisi dibuat oleh PT Position setelah PT Wana Kencana Mineral selaku korban membuat laporan polisi ke Polda Maluku Utara dan Laporan ke Gakkum terkait dengan tindak pidana bukaan lahan di daerah IUP PT Wana Kencana Mineral yang dilakukan PT. Position,” kata Kaligis.

Lebih lanjut, Kaligis menjelaskan, dakwaan yang dibuat jaksa telah error in persona. “Klien kami (para terdakwa) buat patok di daerah IUP PT Wana Kencana Mineral sendiri, tempat dimana para terdakwa bekerja,” ujar Kaligis.

Dalam berita acara pemeriksaan (BAP) Beni Anggid Laksono bin Sarwono, staf teknik PT P, dalam no.10 dan no.15, mengakui bahwa para terdakwa melakukan pemasangan patok di wilayah PT Wana Kencana Mineral sendiri.

"Berikut dikutip BAP Saksi Beni Anggid Laksono: 'Dapat saya jelaskan bahwa bagaimana sehingga PT Wana Kencana Mineral memasang patok/pagar batas IUP PT Wana Kencana Mineral di jalan angkutan (logging) yang dikerjakan oleh PT Position di aeral kerja Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan (PBPH) PT Wana Kencana Sejati di Km 11,450 karena PT Wana Kencana Mineral mempunyai Izin Usaha Pertambangan di wilayah tersebut,” paparnya.

“Dasar PT Wana Kencana Mineral memasang patok/pagar batas IUP …. Karena masuk dalam Izin usaha Pertambangan (IUP) PT Wana Kencana Mineral,” imbuh Kaligis.

Dijelaskan Kaligis, tindakan kliennya, memasang patok, dilatarbelakangi telah terjadinya bukaan lahan di daerah IUP PT Wana Kencana Mineral. “Untuk itu, para terdakwa melakukan patok di wilayah IUP PT Wana Kencana Mineral dalam rangka pemeliharaan tanda batas dan menjaga lingkungan sekitar area tambang milik PT Wana Kencana Mineral,” ujar Kaligis.

Ditambahkannya, pemasangan patok disaksikan oleh tim teknik PT P dan polisi pengamanan PT P. “Tidak ada satu pun dari mereka yang keberatan atas pemasangan patok karena memang pemasangan patok dilakukan di wilayah IUP PT Wana Kencana Mineral sendiri,” tukas Kaligis.

Bahwa pada saat PT Wana Kencana Mineral melakukan pemasangan patok tersebut di wilayah IUP-nya tersebut, disaksikan oleh beberapa karyawan dari PT P dan pihak yang berwenang dalam hal ini adalah kepolisan. Di mana dalam proses memasangannya tidak ada keberatan yang dilakukan dari PT P.

Jika benar pemasangan patok tersebut masuk pada wilayah kerja PT P, kata dia seharusnya PT P melakukan keberatan saat itu juga, sementara saat pemasangan tersebut terdapat Karyawan dari PT. Position serta kepolisan. Akan tetapi faktanya PT P membiarkan pemasangan patok oleh PT WKM, yang dalam hal ini para terdakwa.

“Pemasangan patok tersebut tidak ada teguran maupun somasi dari PT P kepada PT Wana Kencana Mnineral terkait dengan pemasangan patok tersebut. Artinya pemasangan patok tersebut dilakukan di wilayah IUP PT WKM sendiri. Akan tetapi setelah PT WKM mengajukan laporan polisi terhadap PT P atas dugaan aktivitas tambang PT P yang memasuki IUP PT WKM, PT P mengajukan laporan polisi terhadap PT WKM yang dengan dipaksakan mendudukan para terdakwa dalam perkara aquo,” tukas Kaligis.

Ia mengatakan, ketentuan Pasal 17 jo Pasal 21 ayat (1) KUHAP, mengandung makna bahwa dalam proses penyidikan suatu perkara pidana haruslah dilakukan secara prudent (kehati-hatian) yang sangat penting sebagai wujud dari implementasi asas due proses of law dalam penegakan hukum perkara pidana.

Kegiatan penyelidikan dan penyidikan merupakan dua hal yang tidak dapat berdiri sendiri dan tidak dapat dipisahkan keduanya. Berkenaan sebelum melakukan proses penyidikan dalam perkara pidana, termasuk juga dalam perkara terkait terhadap para terdakwa harus didahului dengan proses penyelidikan terlebih dahulu untuk memastikan telah terjadi suatu tindak pidana berdasarkan bukti permulaan yang cukup sebagai wujud due process of law.

Oleh karena proses penyelidikan dan juga penyidikan terhadap para terdakwa, yang tidak dilakukan sesuai asas due process of law, maka penetapan tersangka dapat dikualifikasi tidak sah dan cacat hukum karena merupakan pelanggaran asas prudent sebagaimana ketentuan Pasal 17 jo Pasal 21 ayat (1) KUHAP.

Berdasarkan hal tersebut di atas, kata dia terbukti PT P-lah yang melakukan aktivitas pertambangan yang bukan wilayah IUP-nya, quodnon merujuk pada dakwaan ke-2 jaksa penuntut umum di mana locus delicti merupakan kawasan hutan berdasarkan Keputusan Menteri Nomor: SK.302/Menhut-II/2013 tanggal 1 Mei 2013. Artinya lokasi tersebut bukanlah wilayah IUP dari PT P, maka PT P-lah yang harusnya didudukan sebagai terdakwa, sebagai pihak yang melakukan aktivitas pertambangan di wilayah kawasan hutan berdasarkan Keputusan Menteri Nomor: SK.302/Menhut-II/2013 tanggal 1 Mei 2013.

Mendasarkan pada uraian fakta perbuatan para terdakwa tersebut di atas, kata dia, maka terbukti penuntut umum telah keliru dalam menerapkan pengertian unsur dari pelaku (error in persona). Dengan mempelajari rangkaian antara unsur delik dan fakta perbuatan tersebut, maka dapat diketahui bahwa penuntut umum telah salah menjadikan para terdakwa sebagai subyek dalam tindak pidana yang didakwakan. Oleh karena itu, kata dia pengajuan para terdakwa sebagai terdakwa dalam perkara ini adalah error in persona atau setidak-tidaknya melanggar prinsip tentang "pelaku" dalam suatu pertanggung-jawaban pidana menurut paham hukum pidana materiil. Oleh karena itu, dakwaan penuntut umum harus dinyatakan tidak dapat diterima.

Dalam dakwaan yang diajukan JPU, Kaligis juga melihat dakwaannya itu kabur atau obscuur libel. “Dakwaan Jaksa Penuntut Umum tidak cermat dalam mencantumkan nama nama subyek hukum yang terlibat dalam perkara. Dakwaan jaksa, tidak jelas dalam menentukan obyek lokasi perkara adalah milik siapa, dan siapa yang berwenang mengelola lahan tambang tersebut,” papar Kaligis.

Tidak hanya itu, kata Kaligis, dalam dakwaan jaksa, tidak jelas menguraikan siapa yang sebenarnya melakukan pemasangan patok pada lokasi obyek perkara. “Dakwaan jaksa juga mendasarkan pada proses penyelidikan dan penyidikan yang tidak sah. Ketentuan yang disangkakan kepada para terdakwa selalu berubah-ubah dari proses penyelidikan, penyidikan serta pelimpahan pada kejaksaan,” kata Kaligis.

Dalam rangka pro justitia atau tegakkan keadilan, maka tersangka dalam BAP, harus dijelaskan pasal yang disangkakan. “Hal ini penting untuk memastikan hak-hak tersangka terpenuhi dan proses hukum berjalan adil dan transparan. Sehingga, dengan dirubahnya dan ditambahnya pasal yang disangkakan kepada para terdakwa di dalam proses pelimpahan ke Kejaksaan, di mana pasal tersebut tidak tertuang di dalam BAP yang menjadi dasar pemeriksaan para terdakwa, maka hak tersangka sebagaimana dijamin dalam Pasal 52 KUHAP telah dikesampingkan," jelasnya.

"Dengan demikian, BAP baik terhadap para terdakwa maupun saksi-saksi yang diperiksa didalam perkara a quo tidak memiliki kekuatan pembuktian dan sudah seharusnya dikesampingkan,” lanjut Kaligis.

Dijelaskannya, dalam proses penyelidikan perkara a quo, para terdakwa dilaporkan dan diperiksa atas dugaan tindak pidana kehutanan dengan mendasarkan pada ketentuan Pasal 50 ayat (3) huruf a dan huruf k UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (“UU Kehutanan”), sementara ketentuan Pasal 50 ayat (3) huruf a dan huruf K UU Kehutanan tersebut telah diubah berdasarkan UU No. 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Perppu No. 2 Tahun 2022 sebagai pengganti UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.

“Ketika suatu pasal diubah, pasal yang baru menggantikan pasal yang lama, maka pasal yang lama secara efektif tidak belaku lagi. Dengan kata lain, jika suatu pasal telah diubah atau telah dicabut atau tidak berlaku lagi, maka pasal tersebut tidak dapat digunakan sebagai dasar hukum dalam kasus apa pun,” ujar Kaligis.

Oleh karena itu, kata dia, dalam melakukan rangkaian tindakan atau perbuatan penyelidikan untuk menentukan ada atau tidaknya peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana, dengan mendasarkan pada pasal Pasal 50 ayat (3) huruf a dan huruf K UU Kehutanan yang sudah tidak berlaku. Artinya ketentuan yang menjadi dasar penyelidikan telah dinyatakan tidak berlaku maka penyelidikan tersebut harus dihentikan karena tidak ada lagi dasar hukum untuk melanjutkan proses tersebut.

“Sehingga penuntut umum seharusnya menghentikan penuntutan perkara a quo dan tidak meneruskan perkara ini ke pengadilan. bukannya sebaliknya, di mana penuntut umum justru dengan sangat ekspress melimpahkan perkara a quo ke pengadilan,” tukas Kaligis.

Ditambahkannya, untuk dapat menetapkan seseorang menjadi terdakwa atas perbuatan yang diduga dilakukan, harus terpenuhi syarat formil atau syarat kuantitas alat bukti sebagaimana dimaksud pada Pasal 184 ayat (1) KUHAP, tetapi juga harus memenuhi subtansi (materiel) alat bukti sesuai dengan kualitas masing-masing alat bukti dan masing-masing alat bukti yang memenuhi kualitas tersebut harus juga relevan dengan dengan mens rea maupun actus rea.

“Sebaliknya apabila ketiga syarat sebagaaimana diuraikan tersebut, baik tidak terpenuhi syarat formil, materiel dengan alat bukti masing-masing yang berkualitas, serta tidak ada relevansinya dengan mens rea dan actus reus dari seseorang yang diduga melakukan perbuatan pidana, maka penetapan sebagai terdakwa tersebut tidak syah dan cacat hukum,” beber Kaligis.

Sedangkan keberatan lain, yang diungkap Kaligis dalam nota keberatan adalah saksi-saksi yang menjadi dasar penetapan tersangka terhadap kliennya, tidak dapat dikualifikasikan sebagai saksi berdasarkan Pasal 1 angka 26 KUHAP.

“Karena hanya memberikan keterangan berdasarkan gambar yang ditunjukkan oleh penyidik kepolisian dan sebagian besar bekerja pada PT P. Keterangan berdasarkan gambar yang ditunjukkan oleh penyidik kepolisian dan sebagian besar bekerja pada PT P (pelapor) bahkan para terdakwa (klien kami) diabaikan haknya untuk mengajukan saksi dan ahli yang meringankan untuk dirinya sekalipun telah mengajukan permohonan,” tukas Kaligis.

Adapun sebagian besar saksi yang diperiksa adalah saksi yang bekerja pada PT P dan tidak melihat langsung serta mengalami sendiri peristiwa yang disangkakan kepada para terdakwa. “Saksi justru memberikan keterangan atas gambar yang ditunjukkan oleh penyidik Kepolisian. Dengan demikian saksi-saksi yang dijadikan dasar di dalam mentersangkakan dan mendakwa para terdakwa bertentangan dengan Pasal 1 angka 26 KUHAP,” tukas Kaligis.

Selanjutnya melalui suratnya No: 058/AA&Co/VII/2025 Tertanggal 9 Juli 2025, telah mengajukan permohonan untuk memeriksa saksi dan ahli yang meringankan, akan tetapi diabaikan. Sehingga, kata dia, dengan diabaikannya hak para terdakwa untuk mengajukan saksi dan ahli yang meringankan, jelas bertentangan dengan Pasal 65 KUHAP yang mengatur bahwa tersangka atau terdakwa memiliki hak untuk mengusahakan dan mengajukan saksi atau ahli yang dapat memberikan keterangan yang menguntungkan dirinya. Serta bertentangan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi No. 65/PUU-VIII/2010 tanggal 8 Agustus 2011.

Kemudian, keberatan terhadap dakwaan jaksa selanjutnya adalah bukti-bukti yang menjadi dasar didakwanya para terdakwa oleh jaksa penuntut umum, tidak ada relevansinya dengan dugaan tindak pidana yang disangka dan didakwakan kepada para terdakwa, serta bukti-bukti tersebut, tidak disita dari para terdakwa atau disaksikan oleh para terdakwa.

Kaligis mengungkapkan beberapa fakta hukum sebelum berkas perkara kliennya dinyatakan lengkap. “Kami menemui kedua klien kami, Marsel Bialembang dan Awwab Hafidz di tahanan Bareskrim Polri, baik Marsel maupun Awwab Hafidz, sama sekali tidak mengerti mengapa mereka dijadikan tersangka, hanya karena melakukan atau menunjuk titik patok di daerah kekuasaan IUP PT WKM sendiri. Pemasangan patok dilakukan oleh saudara Manoppo bersama saudara Marsel dan Lius di bulan Maret 2025,” tukas Kaligis.

Pengakuan Manoppo di hadapan penasihat hukum di kantor PT WKM di Halmahera tanggal 26 Juli 2025, “Pemasangan Patok dilakukan disaksikan oleh petugas PT. Position dan Polisi setempat kurang lebih 9 Meter mundur dari police line masih masuk IUP PT. WKM, dan dalam waktu 24 jam Patok dicabut kembali atas perintah atasan”.

Ditegaskannya, patok dipasang di belakang police line pihak kepolisian. “Seandainya pemasangan patok, adalah tindakan kriminal, seharusnya polisi yang menyaksikan, seharusnya melarang, tidak melakukan pembiaraan. Saudara Manappo sendiri, sampai detik ini, tidak pernah diperiksa polisi, atas perbuatannya memasang patok,” tukas Kaligis.

Dijelaskannya, sejarah awal kejadian di awal tahun 2025, di saat PT WKM mendengar berita dari DPRD Kabupaten Halmahera Timur adanya pencemaran lingkungan di IUP PT WKM. PT WKM lalu ke lokasi IUP PT WKM untuk klarifikasi, disertai tim drone, untuk tempat yang sulit dijangkau.

Di lokasi ditemukan adanya pembukaan jalan/dan kerja penambangan liar yang dilakukan PT P. Berdasarkan hasil pemeriksaan Gakkum Kehutanan, PT P telah membuka jalan angkut dan penambangan liar di IUP PT Wana Kencana Mineral sepanjang 1,2 KM, ke kawasan Hutan IUP PT Weda Bay Nikel sepanjang 6,5 Km, ke PT Pahala Milik Abadi sepanjang 2,7 Km. Sedang luas bukaan di areal IUP PT Wana Kencana Mineral kurang lebih 30-50 M dengan kedalaman kurang lebih 10-15 M.

Kesimpulan Gakkum berdasarkan Surat Tugas Nomor ST.136/GAKKUMHUT.HUT.II/GKM.01.03/TU/B.2025 tanggal 23 April-3 Mei 2025.

“Berdasarkan hasil kegiatan pengumpulan data dan informasi oleh Gakkum Seksi II Ambon dapat disimpulkan bahwa PT P telah melakukan pembukaan lahan jalan angkutan dan pengambilan material mineral nikel di dalam kawasan hutan produksi tanpa melalui proses Persetujuan Penggunaan Kawasan Hutan (PPKH) sehingga patut diduga telah terjadi tindak pidana di bidang Kehutanan.”

“Itu sebabnya diusahakan agar penyidikan tidak dilakukan oleh penyidik Gakkum yang pernah meninjau lokasi kejadian. Bila penyidiknya, penyidik Gakkum, pasti yang dijadikan tersangka adalah PT P, yang tidak mungkin menyogok para penyidik, karena PT P tidak punya nett work/jaringan hubungan dengan Gakkum Kehutanan,” tegas Kaligis.

Berdasarkan surat tugas, Gakkum turun ke lapangan tanggal 29 April sampai dengan 3 Mei 2025, dan kesimpulan Gakkum Kehutanan, PT P bukannya membuka jalan, tetapi melakukan penambangan nikel Ilegal.

PT WKM sendiri telah membuat laporan tindak pidana di bidang kehutanan ke Direktorat Reserse Kriminal Khusus Polda Maluku Utara, Dirjen Mineral dan Batubara, Dirjen Planologi Kehutanan dan Dirjen Penegak Hukum Kehutanan.

Cuma yang menjadi tanda tanya, kata Kaligis, penyelidikan dihentikan oleh Polda Maluku Utara, dengan alasan kasus ini harus diselesaikan secara perdata antara PT WKM yang mendapat tugas membuat jalan dengan PT WKM, padahal yang dilaporkan adalah PT P bukan PT WKM.

"Informasi yang kami peroleh, PT P punya relasi di Kepolisian, sehingga laporan PT P mendapatkan atensi pimpinan," kata dia.

Ia mengatakan, PT P dimiliki oleh raja tambang batubara dan nikel, KB dan anak-anaknya. Menurut Kaligis, berdasarkan informasi, keluarga KB yang konglomerat itu punya relasi yang baik dengan pimpinan Kepolisian, sehingga dapat dimengerti bila laporan polisi PT P berjalan cepat dan lancar.

"Sekalipun permohonan gelar perkara sebelum P21 telah kami majukan ke Brigadir Jenderal Polisi Saudara DR. Sumarto. Namun, hasilnya nihil. PT P adalah bagian PT THN, milik konglomerat KB," imbuhnya.

x|close