Ntvnews.id, Jakarta - Wahyu Gunawan, mantan Panitera Muda Perdata di Pengadilan Negeri Jakarta Utara, dihadapkan pada dakwaan atas dugaan menerima suap sebesar Rp2,4 miliar. Uang tersebut berkaitan dengan putusan lepas (ontslag) dalam perkara dugaan korupsi pemberian fasilitas ekspor crude palm oil (CPO) untuk periode 2023 hingga 2025.
Jaksa Penuntut Umum (JPU) dari Kejaksaan Agung, Syamsul Bahri Siregar, menjelaskan bahwa Wahyu diduga menerima uang tersebut sebagai perantara yang menjembatani pihak terdakwa korporasi dalam perkara CPO dengan para hakim yang menangani kasus tersebut.
“Telah menerima atau turut serta menerima hadiah atau janji berupa uang tunai dalam bentuk mata uang dolar AS, yang bertentangan dengan kewajibannya,” ungkap JPU saat membacakan surat dakwaan dalam sidang yang digelar di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Rabu, 20 Agustus 2025.
Jaksa turut menyebutkan bahwa suap tersebut diduga tidak hanya dinikmati oleh Wahyu, tetapi juga oleh mantan Wakil Ketua PN Jakarta Pusat Muhammad Arif Nuryanta, serta tiga hakim yang memeriksa dan memutus perkara, yakni Djuyamto, Ali Muhtarom, dan Agam Syarief Baharudin. Jumlah total uang suap yang diterima secara kolektif mencapai 2,5 juta dolar Amerika Serikat atau sekitar Rp40 miliar.
Baca Juga: Eks Ketua PN Jaksel Didakwa Terima Suap Rp15,7 Miliar Kasus CPO
Ketua PN Jaksel Muhammad Arif Nuryanta saat ditangkap Kejagung.
Dalam dakwaan dijelaskan bahwa suap itu dibayarkan dalam dua tahap. Pada tahap pertama, para penerima memperoleh 500 ribu dolar AS atau senilai Rp8 miliar. Rinciannya: Arif mendapat Rp3,3 miliar, Wahyu menerima Rp800 juta, Djuyamto memperoleh Rp1,7 miliar, sementara Agam dan Ali masing-masing mendapat Rp1,1 miliar.
Tahap kedua melibatkan pembayaran sebesar 2 juta dolar AS atau sekitar Rp32 miliar. Dana ini dibagi sebagai berikut: Arif menerima Rp12,4 miliar, Wahyu Rp1,6 miliar, Djuyamto Rp7,8 miliar, sedangkan Agam dan Ali masing-masing memperoleh Rp5,1 miliar.
Dana suap itu berasal dari empat orang advokat—Ariyanto, Marcella Santoso, Junaedi Saibih, dan Syafei—yang bertindak mewakili kepentingan hukum sejumlah korporasi terdakwa dalam perkara CPO, yaitu Wilmar Group, Permata Hijau Group, dan Musim Mas Group.
Atas dugaan tindak pidana tersebut, Wahyu dijerat dengan pasal berlapis, yakni Pasal 12 huruf a atau Pasal 12 huruf b atau Pasal 6 ayat (2) atau Pasal 5 ayat (2) atau Pasal 11 atau Pasal 12B juncto Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Baca Juga: Drama Ketua PN Jaksel: Harta, Tahta, dan Suap
Dalam persidangan yang sama, Muhammad Arif Nuryanta juga mendengarkan pembacaan surat dakwaan secara bergantian dengan Wahyu. Sementara itu, sidang perdana untuk ketiga hakim yang menangani perkara CPO dijadwalkan berlangsung pada Kamis, 21 Agustus.
Arif sendiri didakwa menerima uang suap dengan total mencapai Rp15,7 miliar. Atas perbuatannya, ia diancam hukuman berdasarkan Pasal 12 huruf c atau Pasal 6 ayat (2) atau Pasal 12 huruf a atau Pasal 12 huruf b atau Pasal 5 ayat (2) atau Pasal 11 atau Pasal 12B juncto Pasal 18 UU Tipikor, jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. (Sumber: Antara)