Ntvnews.id, Jakarta - Wakil Menteri Dalam Negeri (Wamendagri) Bima Arya Sugiarto menekankan bahwa pemerintah daerah memiliki peran krusial dalam merespons tantangan perubahan iklim yang semakin nyata. Ia menyampaikan bahwa dampak perubahan iklim sudah sangat terasa di berbagai daerah.
“Bapak-Ibu sekalian tentu kita bisa rasakan dampak dari global boiling ini. Sebagai mantan kepala daerah, yang menghantui para kepala daerah seluruh Indonesia itu sekarang sama. Tiba-tiba banjir, tiba-tiba kering, tiba-tiba longsor, dan sebagainya. Gagal panen dan sebagainya. Jadi global boiling ini dekat dengan keseharian kita,” ujar Bima dalam pernyataannya di Jakarta, Kamis.
Pernyataan tersebut ia sampaikan saat menjadi keynote speaker dalam acara Nusantara Energy Forum yang berlangsung di lantai 5 Gedung NT Tower, Jakarta.
Dalam forum tersebut, Bima menjelaskan bahwa data yang ia peroleh menunjukkan sektor industri pengolahan menjadi penyumbang emisi karbon terbesar di Indonesia. Di samping itu, sektor-sektor seperti penyediaan listrik dan gas, pertanian, kehutanan, serta perikanan juga memberikan kontribusi signifikan terhadap emisi. Permasalahan lain yang belum terselesaikan secara maksimal, menurutnya, adalah penanganan limbah dan sampah, yang turut menyumbang emisi karbon.
Lebih lanjut, Bima menyoroti potensi besar energi baru terbarukan (EBT) di Indonesia yang masih belum dimanfaatkan secara maksimal. Ia mencontohkan bahwa dari total potensi tenaga air sebesar 95 gigawatt, baru sekitar 6,7 gigawatt yang telah dimanfaatkan. Sementara itu, tenaga bayu dari potensi 155 gigawatt baru dimanfaatkan sekitar 0,2 gigawatt. Energi surya pun belum banyak dimanfaatkan.
“10 provinsi yang melaporkan bahwa capaian porsi dari energi baru terbarukan dalam porsi EBT dalam bauran energi pada tahun 2023 [yang] telah melebihi target. 10 provinsi saja. Bengkulu, Sumsel (Sumatera Selatan), Sumut (Sumatera Utara), Kepri (Kepulauan Riau), Babel (Kepulauan Bangka Belitung), DKI (Daerah Khusus Ibukota Jakarta), Jabar (Jawa Barat), DIY (Daerah Istimewa Yogyakarta), Sulut (Sulawesi Utara), dan Sulsel (Sulawesi Selatan),” ujarnya.
Bima juga mendorong pemerintah daerah untuk mulai menerapkan pendekatan green budgeting atau penganggaran yang berpihak pada keberlanjutan lingkungan. Ia berharap pendekatan ini menjadi kebijakan yang lebih luas dan terstruktur di seluruh tingkatan pemerintahan daerah.
“Jadi gubernur membantu kota/kabupaten apabila ada pembangunan yang bernuansa iklim berkelanjutan. Kota/kabupaten memberikan insentif bagi kelurahan dan sebagainya. Jadi transfer anggaran berbasis ekologi namanya,” tegasnya.
Ia menegaskan bahwa pencapaian visi Indonesia Emas 2045 sangat bergantung pada keseriusan dalam menurunkan emisi karbon. Komitmen tersebut diwujudkan dalam target penurunan emisi gas rumah kaca (GRK) menuju Net Zero Emission (NZE), yang sesuai dengan Paris Agreement dan telah diratifikasi dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2016.
NZE sendiri diartikan sebagai kondisi di mana jumlah emisi GRK yang dilepaskan setara dengan jumlah yang dapat diserap kembali, melalui strategi pengurangan emisi dan peningkatan kapasitas penyerapan karbon yang berjalan secara bersamaan.
Dalam forum tersebut, Bima juga menyampaikan apresiasinya kepada sejumlah daerah yang telah menunjukkan inovasi dalam pengelolaan energi dan isu lingkungan. Ia memberikan contoh Kota Surabaya yang memberlakukan kebijakan pembayaran Suroboyo Bus menggunakan sampah botol plastik.
Provinsi Bali, menurutnya, telah berhasil menerapkan kebijakan pelarangan penggunaan plastik sekali pakai. Kabupaten Banyuwangi juga mendapat sorotan positif karena mengembangkan desa wisata berbasis konservasi. Di sisi lain, Kota Balikpapan menata kawasan hutan kota melalui zonasi, dan Kabupaten Bekasi sudah mulai menerapkan teknologi Refuse-Derived Fuel (RDF) untuk mengelola limbah industri.
Menutup penyampaiannya, Bima menyampaikan harapannya terhadap kepemimpinan daerah yang kini banyak dipegang oleh generasi muda. Menurutnya, hal ini akan membuat perhatian terhadap isu lingkungan semakin kuat dan kolaborasi antar pemangku kepentingan bisa lebih solid.
“Jadi ini perspektif politiknya, perspektif kawanan kekuasaannya yang membuat kita semakin sadar bahwa kolaborasi ini harus dilakukan oleh semua,” tuturnya.