Ntvnews.id, Jakarta - Kuasa hukum Nadiem Makarim, Dodi S. Abdulkadir, menyampaikan bahwa terdapat tujuh alasan yang membuat penetapan tersangka terhadap kliennya dinilai tidak sah dan tidak memiliki kekuatan hukum.
Pertama, penetapan tersangka tidak dilengkapi hasil audit perhitungan kerugian keuangan negara yang nyata (actual loss) dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) maupun Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP).
"Padahal, audit ini menjadi syarat mutlak menentukan adanya kerugian keuangan negara yang menjadi salah satu syarat dari pemenuhan dua alat bukti yang dipersyaratkan dalam Pasal 184 KUHAP jo. Putusan MKRI 21/PUU-XII/2014," kata Dodi lewat keterangannya di Jakarta, Selasa, 30 September 2025.
Kedua, menurut Dodi, baik BPKP maupun Inspektorat sudah melakukan audit Program Bantuan Peralatan Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) 2020–2022, dan hasilnya tidak ditemukan adanya kerugian negara akibat perbuatan melawan hukum oleh Nadiem. Hasil audit itu juga diperkuat dengan Laporan Keuangan Kemendikbudristek 2019–2022 yang memperoleh opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP).
Ketiga, penetapan tersangka dianggap cacat hukum karena dilakukan tanpa minimal dua bukti permulaan serta tanpa pemeriksaan terhadap calon tersangka sebagaimana diatur dalam Pasal 184 KUHAP jo. Putusan MK No. 21/PUU-XII/2014.
Baca Juga: Kejagung Ungkap Nadiem Makarim Tengah Jalani Operasi di RS
"Surat penetapan tersangka terhadap Nadiem dikeluarkan pada tanggal yang bersamaan dengan surat perintah penyidikan (sprindik), yaitu tanggal 4 September 2025," ujar Dodi.
Keempat, surat pemberitahuan dimulainya penyidikan (SPDP) tidak pernah diterbitkan dan/atau tidak pernah diterima Nadiem hingga saat ini. Hal itu, kata Dodi, melanggar Pasal 109 KUHAP jo. Putusan MK No. 130/PUU-XIII/2015, menghilangkan fungsi pengawasan penuntut umum, serta berpotensi membuka ruang penyidikan yang sewenang-wenang.
Kelima, Program Digitalisasi Pendidikan 2019–2022 yang dijadikan dasar penetapan tersangka Nadiem berdasarkan Surat Penetapan Tersangka Nomor TAP-63/F.2/Fd.2/09/2025 tertanggal 4 September 2025 disebut bukan nomenklatur resmi dan tidak tercantum dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020–2024 maupun kebijakan Kemendikbudristek.
Dengan demikian, perbuatan yang dituduhkan kepada Nadiem dinilai abstrak, tidak cermat, serta melanggar haknya untuk mengetahui secara jelas tuduhan yang diarahkan kepadanya.
Keenam, status Nadiem dalam surat penetapan tersangka disebut sebagai karyawan swasta, padahal pada 2019–2024 ia menjabat sebagai Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbudristek) dengan identitas resmi sebagai anggota kabinet.
Baca Juga: Nadiem Makarim Ajukan Praperadilan Terkait Status Tersangka Kasus Pengadaan Chromebook
Ketujuh, Nadiem dianggap memiliki identitas serta domisili jelas, bersikap kooperatif, dan bahkan sudah dicegah bepergian ke luar negeri sehingga kecil kemungkinan melarikan diri. Ia juga tidak lagi menjabat menteri sehingga tidak memiliki akses maupun peluang menghilangkan barang bukti.
"Penahanan Nadiem tidak sah karena alasan-alasan yang dijadikan dasar penahanan tidak dibuktikan secara objektif. Fakta-fakta ini yang juga perlu diketahui masyarakat untuk memastikan bahwa penegakan hukum dilakukan secara fair, transparan, dan sesuai aturan perundang-undangan yang berlaku," ujar Dodi.
Sebelumnya, Kejaksaan Agung telah menetapkan Nadiem sebagai tersangka dalam dugaan tindak pidana korupsi pengadaan laptop Chromebook untuk Program Digitalisasi Pendidikan 2019–2022 di Kemendikbudristek.
Atas penetapan itu, tim penasihat hukum Nadiem mengajukan permohonan praperadilan ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada 23 September 2025 dengan nomor register 119/Pid.Pra/2025/PN.Jaksel. Sidang perdana praperadilan dijadwalkan berlangsung pada Jumat, 3 Oktober 2025.
Kejaksaan Agung menyatakan menghormati upaya hukum tersebut.
"Itu merupakan suatu hak bagi tersangka dan penasihat hukumnya. Sebetulnya ini juga merupakan check and balance bagi kami sebagai aparat penegak hukum," kata Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung, Anang Supriatna, di Jakarta, Selasa, 23 September 2025.
(Sumber: Antara)