Ntvnews.id, Tokyo - Perdana Menteri Jepang Sanae Takaichi akan menghadapi ujian diplomatik perdananya ketika Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump melakukan kunjungan resmi ke Tokyo pada 27 Oktober.
Dilansir dari Anadolu, Sabtu, 25 Oktober 2025, kunjungan ini menjadi bagian dari perjalanan tiga negara di Asia dan berlangsung kurang dari seminggu setelah Takaichi resmi dilantik sebagai perdana menteri perempuan pertama Jepang.
Trump, yang kini memiliki pengalaman politik lebih matang dibanding masa jabatan pertamanya, dikenal sulit diprediksi dalam urusan diplomasi internasional. Oleh karena itu, membangun hubungan pribadi yang solid dengan Trump menjadi tantangan awal bagi Takaichi, yang dikenal sebagai murid ideologis mendiang Shinzo Abe mantan perdana menteri Jepang yang memiliki hubungan dekat dengan Trump.
“Meski sulit memperkirakan bagaimana pertemuan dengan Trump akan berlangsung, Takaichi tampaknya berpotensi membangun hubungan baik dengannya karena pandangan konservatif mereka yang sejalan,” ujar Kristi Govella, penasihat senior sekaligus Ketua Program Jepang di Center for Strategic and International Studies (CSIS), seperti dikutip The Straits Times, Kamis, 23 Oktober 2025.
Baca Juga: PM Baru Jepang Sanae Takaichi Umumkan Rencana Stimulus Ekonomi untuk Tekan Inflasi
Govella menambahkan bahwa Takaichi dapat meniru pendekatan Perdana Menteri Italia Giorgia Meloni, yang berhasil menempatkan dirinya sebagai sekutu ideologis terdekat Trump di Eropa.
Sementara itu, Bonnie Glaser, Direktur Program Indo-Pasifik di German Marshall Fund, menilai penting bagi Takaichi untuk segera menjalin hubungan erat dengan Trump.
“Trump menghormati pemimpin yang kuat dan berpendirian tegas,” kata Glaser.
“Ia perlu mendengar visi Takaichi mengenai masa depan Jepang serta pentingnya aliansi keamanan dengan Amerika Serikat,” tambahnya.
Sebagai figur konservatif yang mendukung kebijakan pertahanan kuat, Takaichi telah menunjuk sejumlah tokoh dekat Shinzo Abe ke posisi kunci dalam kabinetnya. Dalam konferensi pers pelantikannya pada 21 Oktober, ia menegaskan tekad untuk “mengembalikan diplomasi Jepang yang kembali bersinar di panggung dunia.”
Trump dijadwalkan meninggalkan Jepang pada 29 Oktober untuk melanjutkan kunjungannya ke Korea Selatan, sebelum menghadiri pertemuan puncak ekonomi Asia-Pasifik dan bertemu Presiden Tiongkok Xi Jinping.
Di tengah meningkatnya ketegangan perdagangan antara Washington dan Beijing, para pengamat tidak banyak berharap pada terobosan besar dalam pertemuan antara Trump dan Xi. Pemerintahan Trump kini lebih menitikberatkan perhatian pada isu perdagangan dan teknologi ketimbang keamanan Asia atau persoalan Taiwan.
Baca Juga: Profil Sanae Takaichi yang Bakal Jadi PM Perempuan Pertama Jepang
Trump sering menuding hubungan dagang AS–Tiongkok tidak seimbang, dengan menyatakan bahwa perusahaan-perusahaan Amerika tidak memiliki akses setara di pasar Tiongkok. Sebaliknya, Beijing dianggap menjalankan strategi jangka panjang untuk memperluas pengaruh globalnya.
Meski Trump jarang menyinggung Taiwan dari sisi keamanan, Glaser memperkirakan Xi Jinping akan membawa isu tersebut ke meja perundingan.
“Pertanyaannya adalah bagaimana ia menyampaikannya dan apa yang akan dimintanya,” ujarnya, seraya menambahkan bahwa Xi kemungkinan ingin Trump menegaskan kembali posisi AS yang menolak kemerdekaan Taiwan.
Glaser menilai, Takaichi memiliki kesempatan strategis untuk menyampaikan kekhawatiran Jepang sebelum Trump bertemu Xi.
“Jika ia menegaskan betapa pentingnya perdamaian dan stabilitas di Selat Taiwan bagi Jepang, mungkin itu bisa memengaruhi cara Trump merespons Xi,” kata Glaser.
Sementara itu, perang dagang antara AS dan Tiongkok kembali memanas menjelang tenggat penghentian sementara tarif pada 10 November. Sebagai respons terhadap kebijakan ekspor baru Tiongkok untuk mineral tanah jarang, Trump mengancam akan memberlakukan tarif tambahan hingga 100 persen mulai 1 November.
Govella, yang juga profesor hubungan internasional di Universitas Oxford, memperkirakan Trump akan memanfaatkan kunjungan ke Asia untuk mempertegas citranya sebagai “pembuat kesepakatan ulung.”
Perdana Menteri Jepang Sanae Takaichi (kanan). (ANTARA)