Ntvnews.id, Jakarta - Direktorat Jenderal Pajak (DJP) mengungkapkan adanya 282 perusahaan yang diduga melakukan pelanggaran terhadap aturan ekspor minyak kelapa sawit (crude palm oil/CPO) melalui praktik penggelapan dokumen dan under-invoicing.
Direktur Jenderal Pajak Bimo Wijayanto menjelaskan bahwa jumlah tersebut merupakan akumulasi dari 25 wajib pajak yang melanggar sepanjang 2025, serta 257 wajib pajak yang melakukan pelanggaran serupa selama periode 2021–2024.
Dalam konferensi pers di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta, Kamis, 6 November 2025, Bimo memaparkan bahwa pada 2025 ditemukan modus baru berupa pemalsuan fatty matter.
"Milestone awal ini modus penggelapan melalui pengakuan Pemberitahuan Ekspor Barang (PEB)-nya itu fatty matter, yang ternyata itu bukan fatty matter. Ini merupakan milestone awal," jelasnya.
Total nilai transaksi dari praktik tersebut diperkirakan mencapai Rp2,08 triliun, dengan potensi kerugian negara dari sisi pajak sekitar Rp140 miliar.
Baca Juga: Pelanggaran Ekspor CPO Terungkap dari Kenaikan Ekspor Fatty Matter
Selain itu, praktik manipulasi dokumen ekspor dengan menggunakan laporan Palm Oil Mill Effluent (POME) juga teridentifikasi berlangsung sejak 2021 hingga 2024. Selama periode itu, tercatat 257 wajib pajak memakai modus POME dengan nilai total PEB sekitar Rp45,9 triliun.
Modus tersebut dilakukan dengan melaporkan komoditas yang sebenarnya bukan POME, sehingga nilai pajak yang dibayarkan menjadi jauh lebih rendah dari seharusnya.
Lebih lanjut, Bimo menyampaikan bahwa DJP sedang melakukan pemeriksaan bukti permulaan (bukper) terhadap PT MMS dan tiga perusahaan afiliasinya, yakni PT LPMS, PT LPMT, dan PT SUNN, guna memverifikasi data, menilai kesesuaian nilai transaksi, serta menegakkan kepatuhan pajak.
"Jadi rencana kami, kami sudah laporkan kepada Pak Menkeu, setelah ini 282 wajib pajak yang melakukan ekspor serupa itu akan kami periksa, akan kami bukper dan akan kami sidik sesuai dengan kecukupan bukti awal," terangnya.
Baca Juga: Polri Bongkar Modus Penghindaran Pajak CPO Lewat Ekspor Fatty Matter
Dalam proses penegakan hukum, DJP mengedepankan pendekatan kolaboratif dengan menggandeng Satgasus Optimalisasi Penerimaan Negara Polri, Bareskrim, Jampidum Kejaksaan Agung, PPATK, BPKP, hingga KPK.
Menurut Bimo, langkah ini tidak hanya bertujuan memberikan efek jera bagi para pelaku pelanggaran, tetapi juga untuk memperbaiki tata kelola ekspor-impor dan mendukung hilirisasi industri sawit nasional.
Dari hasil pengawasan gabungan antara DJP dan Bea Cukai, ditemukan adanya lonjakan signifikan volume ekspor fatty matter pada 2025, yang mencapai 73.287 ton. Jumlah ini meningkat dibandingkan 31.403 ton pada 2024, 22.151 ton pada 2023, dan 19.383 ton pada 2022.
Baca Juga: Kapolri Ungkap Modus Ekspor CPO Sebagai Tindak Lanjut Arahan Presiden Prabowo
Selain itu, juga ditemukan berbagai praktik kecurangan seperti manipulasi dokumen, under-invoicing, transfer pricing melalui afiliasi luar negeri, pengajuan restitusi PPN fiktif, serta penghindaran kewajiban Domestic Market Obligation (DMO) untuk produk CPO.
Dari hasil pengembangan kasus di Pelabuhan Tanjung Priok, jumlah kontainer ekspor yang diduga terlibat pelanggaran meningkat tajam, dari 25 kontainer menjadi 87 kontainer, seluruhnya milik PT MMS.
Tujuh dokumen PEB milik perusahaan tersebut tercatat melaporkan fatty matter dengan total berat 1.802,71 ton senilai Rp28,79 miliar. Komoditas itu tidak dikenai Bea Keluar, Pungutan Ekspor, dan tidak termasuk dalam ketentuan larangan atau pembatasan ekspor (Lartas).
(Sumber: Antara)
Direktur Jenderal Pajak Bimo Wijayanto saat ditemui awak media di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta, Kamis, 6 November 2025. ANTARA/Bayu Saputra/am. (Antara)