Mitigasi Perubahan Iklim Diharapkan Tak Rugikan UMKM

NTVNews - Berita Hari Ini, Terbaru dan Viral - 9 Nov 2025, 14:10
thumbnail-author
Moh. Rizky
Penulis
thumbnail-author
Tasya Paramitha
Editor
Bagikan
Dialog Talanoa yang digelar Islamic Relief Indonesia. Dialog Talanoa yang digelar Islamic Relief Indonesia.

Ntvnews.id, Jakarta - Krisis iklim dirasakan semakin menghebat, cuaca semakin ekstrim dan bencana hidrometeorologi seperti banjir, longsor, kebakaran hutan, abrasi air laut semakin intens. Muara Gembong di Bekasi yang dulunya wilayah subur makmur, kini tergerus abrasi, bahkan beberapa desa terancam tenggelam.

Di Semarang, Jawa Tengah banjir rob akibat air laut pasang semakin sering terjadi mengakibatkan kerugian ekonomi yang signifikan karena datang terus menerus. Gelombang panas (heat wave) melanda Asia, Eropa, dan Amerika dengan jumlah korban jiwa meningkat setiap tahunnya. Di Italia, sekitar 19 ribu orang meninggal akibat panas ektrim pada pertengahan musim panas 2024.

Secara global, tercatat sudah 500 ribu orang lebih yang meninggal akibat gelombang panas ini setiap tahunnya. Karena itu, Sekjen PBB Antonio Guterres menyebut bahwa era global warming sudah berakhir, dan sekarang kita memasuki era global boiling (pendidihan global).

Itulah sebabnya upaya menjaga agar kenaikan suhu di bawah 2 derajat celcius bahkan idealnya di bawah 1,5 derajat celcius disepakati oleh para pemimpin negara di dunia. Untuk itu, upaya menjaga kenaikan suhu ini harus didukung oleh semua pihak sambil melakukan adaptasi terhadap dampak perubahan iklim yang sudah terjadi.

Demikian dipaparkan oleh Nanang Subana Dirja, selaku CEO Islamic Relief Indonesia yang menjadi pengundang dalam kegiatan Talanoa Dialogue, yang dilaksanakan pada Jumat 7 November 2025, atas kerja sama Islamic Relief dengan UNOCHA, lembaga PBB yang mengkoordinasikan bantuan-bantuan kemanusiaan di dunia.

Talanoa Dialogue adalah sebuah proses dialog yang inklusif, partisipatif, dan transparan yang berasal dari tradisi Fiji dan Pasifik, yang bertujuan untuk berbagi cerita, membangun empati, dan membuat keputusan yang bijaksana demi kebaikan bersama. Proses ini sering digunakan dalam konteks global, terutama dalam diskusi perubahan iklim, untuk mengumpulkan berbagai pandangan dan pengalaman dari berbagai pihak tanpa ekspektasi kesepakatan yang telah ditentukan.

Pada kesempatan pertama dihadirkan Usnawati, seorang pelaku UMKM yang menggeluti usaha jamur di Lombok Barat, NTB. Ia menyampaikan bahwa akhir-akhir ini usaha jamurnya mengalami kendala produksi karena bahan baku pembuatan jamur serbuk gergaji sulit didapat dan kalau tersedia harganya mahal. “Dulu serbuk gergaji terbuang, kita tidak pernah beli sehingga kita bisa mengembangkan usaha jamur sampai memiliki 12 rumah jamur," kata Usnawati, kepada wartawan, Sabtu, 8 November 2025.

Kini, jika ada, serbuk gergaji mesti beli dengan harga yang mahal. Itu pun harus gantian untuk mendapatkannya. Akibatnya, pihaknya menurunkan produksi, yang tadinya bisa setiap sehari, sekarang hanya bisa produksi 1 kali dalam sebulan. Menurut pemilik sawmill atau penggergajian kayu, serbuk gergaji telah dikontrak oleh perusahaan listrik.

Uus, panggilannya, bersama dengan ratusan petani jamur pernah mengadukan persoalan ini ke berbagai pihak. Namun jawaban yang diterimanya sangat mengecewakan. Salah satu pimpinan daerah yang ditemuinya justru memberikan jawaban yang menghancurkan hati mereka.

"Ibu pilih mana, apakah sebaiknya listriknya mati dan ibu terus berusaha jamur, atau listrik hidup dan usaha ibu sedikit terganggu," ujar pimpinan daerah tersebut yang ucapannya ditirukan oleh Uus.

Menurut Islamic Relief Indonesia, ini adalah dampak nyata dari transisi ke arah pembangunan hijau. Penyedia listrik berupaya mengganti bahan bakar fosil dengan bahan bakar ramah lingkungan agar emisi karbon dalam proses menghasilkan listrik ini dapat dikurangi. Namun demikian, belum diantisipasi dampak yang ditimbulkan dari transisi ini.

Sementara itu, Dina Novita Sari dari ILO (International Labour Organization) yang menjadi pembicara keempat dalam dialogue Talanoa ini, proses transisi ke arah ekonomi hijau haruslah berkeadilan (Just Transition). Ada 8 ‘key policy area’ untuk transisi yang berkeadilan, salah satunya adalah kebijakan Proteksi Sosial. Intinya bila ada masyarakat yang terdampak dari sebuah proses transisi, maka masyarakat tersebut harus diberikan perlindungan social agar kehidupannya tidak terganggu.

Dalam catatan ILO, secara global ada sekitar 1,2 miliar pekerjaan dan penghidupan masyarakat yang berhubungan dengan pelayanan ekosistem dan di saat terjadi perubahan termasuk di dalam proses transisi hijau ini, maka para pelaku di dalam lingkup pekerjaan tersebut akan terdampak. Namun di lain sisi, juga akan ada ‘job opportunity’ baru yang timbul di saat proses transisi ini terjadi, yaitu pekerjaan-pekerjaan baru yang membutuhkan keahlian tertentu yang belum tentu dapat diisi oleh orang-orang yang terdampak tadi.

Karenanya perlu ada proses upskilling (peningkatan keterampilan) dan reskilling (penyesuaian keterampilan) agar mereka yang terdampak tersebut dapat mengisi job opportunity tersebut. Dengan demikian, proses transisi hijau dapat lebih inklusif dan berkeadilan.

Hadir sebagai pembicara lain di dalam dialog Talanoa ini, Anggi Pertiwi Putri, ST, MEnv dari Kementerian PPN/Bappenas yang memaparkan peta jalan Pembangunan Rendah Karbon dan Ketahanan Iklim di Tingkat Nasional, Dr H Iswandi, MSI Kepala Bappeda NTB yang memaparkan kesiapaan provinsi NTB dalam melaksanakan Pembangunan Ekonomi Hijau melalui kebijakan Pembangunan Rendah Karbon dan Ketahanan Iklim 2025-2045, Dr Hairil Anwar Akademisi dari Universitas Mataram yang memaparkan pendekatan system dynamic dalam memetakan skenario pencapaian net zero emission NTB lebih cepat 10 tahun dari tingkat nasional.

Pembicara lain Prof Said Muhammad, guru besar ekonomi Islam Universitas UIN Sharif Hidayatullah dan ketua Dewan Pengawas Syariah Islamic Relief Indonesia memberikan pencerahan terkait dengan Integrasi Etika dan Keadilan ke dalam Transisi Ekonomi Hijau, termasuk di antaranya melalui penderkatan Hifz’al-Bi’ah (menjaga lingkungan) sebagai maqodid kontemporer, melalui 3 pendekatan. Yaitu, Tawazun (kseimbangan) antara ekonomi, social, dan ekologi; lalu Ta’awun (kolaborasi) lintas sektor untuk mewujudkan keadilan ekologis, dan Hisbah (Pemgawasan moral) untuk memastikan bisnis beretika.

Selain pembicara di atas terdapat empat pembicara lain mewakili berbagai kelompok kepentingan dan lintas pelaku yaitu Dewi dari Human Initiative, sebuah NGO besar di Indonesia, yang menyatakan komitmennya untuk meningkatkan kerja-kerja perubahan iklim di sektor persampahan dan akan masuk ke dalam konsep ekonomi hijau.

Selanjutnya, Reta dari Himpunan Wanita Disabilitas Indonesia (HWDI) menyampaikan pesannya bahwa isu-isu perubahan iklim, pembangunan rendah karbon, transisi ekonomi hijau, integrated farming sangat sulit difahami terutama bagi kelompok disabilitas perempuan. Karenanya ia berharap kelompok-kelompok disabilitas dapat dilibatkan dalam dialog-dialog seperti ini, termasuk di dalam penyusunan perencanaan dan kebijakan-kebijakan, pelaksanaan, monitoring dan evaluasi terkait perubahan iklim.

Selain itu, diharapkan juga ada affirmatif action untuk kaum disabilitas, seperti di dalam pelaksanaan integrated farming (pertanian terintegrasi), kaum disabilitas diberikan quota agar dapat menjadi bagian dari kegiatan tersebut. Juga dalam pelatihan-pelatihan, diberikan kuota agar perempauan disabilitas dapat turut serta.

“Kami membutuhkan support system yang mendukung kami, terutama berhubungan dengan kenyataan bahwa perempuan disabilitas ini memiliki banyak keterbatasan seperti takut keluar, sulit berjalan sendiri, sulit berkomunikasi, dan lainnya," imbuh Reta.

Reni dari Recoftc Indonesia menyampaikan, "satu pesan penting bahwa organisasinya telah menyusun modul pelatihan nilai ekonomi karbon disusun bersama dengan pusdiklat kementerian kehutanan dan sudah memberikan pelatihan bagi 1400 peserta."

Irfan dari Dinas LHK Kabupaten Dompu menyampaikan, "keprihatinannya terkait dengan proses penggundulan hutan yang terus terjadi akibat adanya ekspansi penanaman jagung oleh para petani hutan."

Komoditi jagung yang cepat menghasilkan dan juga penjualannnya mudah perlu diimbangi dengan komoditi lain yang lebih ramah lingkungan dan cepat menghasilkan agar pengundulan hutan dapat dikurangi.

Dalam menutup kegiatan Dialog Talanoa ini, Nanang Subana Dirja selaku tuan rumah menyampaikan perlunya aksi-aksi nyata dalam menerapkan pembangunan rendah karbon dan ketahanan iklim di level tapak, sementara di level nasional perlu dibuat Sekretariat Transisi Berkeadilan agar dapat memecahkan persoalan seperti yang dialami oleh Usnawati dari Lombok.

Untuk di level tapak, Islamic Relief dalam dua bulan ke depan akan melaksanakan kegiatan pertanian terintegrasi bekerja sama dengan tiga pemerintah kabupaten di NTB yang diarahkan untuk menjadi daya ungkit ekonomi masyarakat melalui kegiatan ekonomi sirkular berbagai komoditi ternak yang digabungkan degan perikanan, pertanian hortikultura dan pakan ternak, pengolahan biogas, produksi pupuk organik hayati, dan pupuk organik padat.

"Pertanian terintegrasi ini akan dikelola oleh kompok rentan sehingga tiga pilar pembangunan rendah karbon dapat terpenuhi, yaitu peningkatan ekonomi, peningkatan kesejahteraan kaum rentan, dan kelestarian lingkungan untuk penyerapan karbon.”

 

x|close