Petani dan Buruh Nilai Kebijakan Cukai 2026 Sejalan dengan Visi Presiden Prabowo

NTVNews - Berita Hari Ini, Terbaru dan Viral - 12 Nov 2025, 18:46
thumbnail-author
Tasya Paramitha
Penulis & Editor
Bagikan
Petani tembakau. Petani tembakau. (Antara)

Ntvnews.id, Jakarta - Keputusan pemerintah untuk tidak menaikkan tarif cukai hasil tembakau (CHT) dan harga jual eceran (HJE) pada 2026 mendapat sambutan positif dari kalangan petani tembakau dan buruh linting di berbagai daerah.

Kebijakan yang diumumkan oleh Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa itu dinilai sebagai langkah berani sekaligus bijak dalam menjaga keseimbangan antara kepentingan fiskal negara dan keberlangsungan sektor padat karya di industri hasil tembakau.

Sekretaris Jenderal Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI), K. Mudi, menyebut kebijakan moratorium cukai ini sebagai “angin segar” bagi petani yang selama beberapa tahun terakhir terus terpukul oleh kenaikan tarif yang signifikan.

“Langkah yang dilakukan oleh Pak Purbaya adalah langkah yang sangat bijak dan sangat berani. Sangat berani karena hampir 6–7 tahun terakhir, kita itu terus-menerus mengalami kenaikan dari cukai antara 12–15% setiap tahun. Pernah tahun 2020 yaitu 23%,” ujar Mudi dalam keterangannya, Rabu, 12 November 2025.

Baca Juga: Purbaya Kaget Saat Sidak Barang Impor di Tanjung Perak: Harganya Rp100 Ribu, Gila Murah Banget

Menurutnya, kebijakan cukai yang terlalu agresif selama ini telah menyebabkan penurunan drastis pada produksi tembakau nasional, dari 280 ribu ton pada 2019 menjadi hanya sekitar 180 ribu ton saat ini.

“Kita lagi anomali iklim, produksi kita turun mulai dari 2019 yang awalnya 280 ribu ton, sekarang tinggal di angka 180 ribu ton. Turun 100 ribu. Berat. Kemudian kita juga lagi mengalami penurunan penyerapan dari industri. Ini adalah dampak dari kenaikan tarif cukai yang terlalu tinggi,” jelasnya.

Mudi menambahkan, penurunan produksi itu berimbas langsung pada kesejahteraan petani di 14 provinsi penghasil tembakau. Ia menegaskan bahwa hampir seluruh hasil panen petani masih bergantung pada serapan dari industri hasil tembakau.

“99% tembakau petani kita itu masih dibeli oleh industri tembakau. Belum ada instrumen penelitian dari universitas mana pun bahwa potensi di industri tembakau, di tembakau ini, sebenarnya bisa dipergunakan untuk macam-macam,” kata Mudi.

Baca Juga: Menkeu Purbaya Sidak Bea Cukai Tanjung Perak, Ini Hasilnya

Ia juga berharap kebijakan moratorium ini diikuti dengan penyaluran Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBHCHT) yang lebih tepat sasaran, agar manfaat cukai dapat dirasakan langsung oleh petani, pekerja, dan daerah penghasil.

“Kabar baiknya, dari dulu sampai sekarang, cengkeh yang tidak pernah mendapatkan DBHCHT tahun ini bisa menyerap DBHCHT. Artinya, apa yang dilakukan oleh pemerintah sekarang ini benar-benar menjadi angin segar supaya baik dari sisi hulu maupun hilir ini, petani dan industri bisa bernapas agak lega,” ungkap Mudi.

Dari sisi pekerja, Ketua Umum Federasi Serikat Pekerja Rokok, Tembakau, Makanan, dan Minuman (FSP RTMM-SPSI), Sudarto, menilai kebijakan fiskal pemerintah selama ini belum berpihak pada buruh. Ia menyoroti bahwa dalih pemerintah untuk meningkatkan penerimaan dan kesehatan tidak selalu sesuai kenyataan di lapangan.

Baca Juga: Menkeu Purbaya Tegaskan Redenominasi Rupiah Jadi Wewenang Bank Sentral

“Kebijakan pemerintah selama ini baik terhadap fiskal maupun non-fiskal sebetulnya jelas-jelas belum tentu efektif, tapi korbannya tenaga kerja. Fakta loh ini ya. Jadi belum tentu penerimaan negara tercapai, belum tentu target kesehatan tercapai seperti yang mereka harapkan. Tapi jelas pekerja dikorbankan,” tegas Sudarto.

Ia berharap moratorium cukai ini memberi ruang bagi industri legal untuk bertahan dan memulihkan kapasitas produksi yang sempat tertekan oleh kenaikan tarif dan maraknya rokok ilegal. Menurutnya, langkah ini sejalan dengan visi pemerintahan Presiden Prabowo Subianto yang menekankan penguatan industri padat karya dan kedaulatan ekonomi nasional.

“Dalam momentum Pak Prabowo ini punya awareness terhadap yang namanya kerakyatan, ketahanan ekonomi, dan industri padat karya, itu memang harus mendapat perhatian serius,” tutup Sudarto.

x|close