Ntvnews.id, Jakarta - Umat Kristen di Jalur Gaza kembali melaksanakan Misa Natal secara berjamaah pada Rabu, 24 Desember 2025, untuk pertama kalinya dalam dua tahun terakhir. Pelaksanaan misa ini menandai kembalinya ibadah bersama setelah konflik berkepanjangan yang menghancurkan wilayah tersebut dan memaksa penghentian seluruh perayaan keagamaan.
Misa Natal di Gaza berlangsung dalam suasana sederhana dan penuh keheningan, tanpa penerangan, musik, maupun dekorasi yang lazim mewarnai perayaan Natal. Sebaliknya, ibadah tersebut dipenuhi rasa duka, dengan doa-doa yang dipanjatkan bagi mereka yang gugur selama perang.
Selama dua tahun terakhir, komunitas Kristen yang kecil di Gaza terpaksa membatasi aktivitas keagamaan hanya pada doa pribadi, baik di tempat perlindungan maupun di gereja-gereja yang mengalami kerusakan akibat konflik. Kembalinya jemaat ke gereja pada Rabu dimungkinkan setelah adanya kesepakatan gencatan senjata baru-baru ini serta penarikan sebagian pasukan Israel dari kawasan bersejarah di wilayah tersebut.
"Sebelum perang, kami biasa berdoa bersama, menghias pohon Natal di rumah, dan berbagi kudapan manis," kata Edward Antoine (37), yang ibu dan saudara perempuannya tewas dalam perang tersebut.
"Tahun ini, saya menghadiri Misa sendirian, tetapi doa memberi saya kekuatan," ungkapnya.
Baca Juga: Kardinal Suharyo: Natal Jadi Momentum Pemulihan Keluarga di Tengah Tantangan Zaman
Sebelum konflik pecah, jumlah umat Kristen di Gaza diperkirakan sekitar 1.000 orang. Namun, komunitas ini mengalami kehilangan besar selama perang berlangsung. Direktur Operasi Patriarkat Latin di Gaza, George Anton, menyebut sedikitnya 53 anggota komunitas Kristen tewas, baik akibat serangan langsung maupun karena minimnya akses perawatan medis saat berlindung di kompleks gereja.
Perang dimulai pada 7 Oktober 2023, ketika militan Hamas melancarkan serangan ke wilayah selatan Israel. Serangan balasan dari Israel kemudian menghancurkan sebagian besar Jalur Gaza. Sejumlah gereja yang berfungsi sebagai tempat perlindungan bagi umat Kristen dan Muslim turut terkena serangan dalam konflik tersebut.
Meski gencatan senjata yang berlaku saat ini membawa ketenangan relatif, rasa tidak aman masih dirasakan oleh warga Gaza.
"Kami terkadang masih mendengar ledakan. Kami merasa cukup dengan doa hari ini. Kami berusaha bertahan hidup dan berharap kematian di Gaza segera berakhir,"
kata Hilda Ayad (29).
Misa Natal tersebut digelar secara terbatas dan hanya berfokus pada ritual keagamaan. Pengurus gereja menegaskan tidak akan ada perayaan publik maupun festival musik pada Natal tahun ini sebagai bentuk penghormatan terhadap ribuan warga Palestina yang tewas akibat perang.
"Tidak akan ada kebahagiaan sejati selama Gaza hancur. Kehilangan kami adalah bagian dari penderitaan semua orang di sini," kata Faten al-Salafiti (67), yang kehilangan suami dan putranya dalam serangan terhadap sebuah gereja.
(Sumber : Antara)
Anak-anak menghias pohon Natal di Paroki Keluarga Kudus di Gaza pada 15 Desember 2025. ANTARA/Xinhua/Rizek Abdeljawad (Antara)