Lebih lanjut Ajib mengatakan sejalan dengan harapan agar daya beli masyarakat tetap terjaga dengan baik masih dibutuhkan insentif fiskal yang lain yang bermanfaat untuk menjaga daya beli masyarakat.
"Itu menjadi harapan dunia usaha," tandasnya.
Kendati demikian, Ajib menyatakan kenaikan PPN 12% memang menjadi sebuah kebijakan yang harus dilakukan. Pengusaha tidak punya pilihan lain selain menerima itu.
Namun perlu dipahami bahwa definisi PPN adalah sebuah pajak tidak langsung yang bebannya dan yang membayar seluruh masyarakat dan pengguna akhir.
"api jangan lupa yang melakukan administrasi pemungutan dan membantu menyetorkan negara itu adalah pengusaha. Jadi Seharusnya dari awal pemerintah tuh duduk bareng dengan pengusaha untuk mendesain kebijakan yang komprehensif. Yang pro dengan pertumbuhan ekonomi, pro dengan dunia usaha dan pro dengan daya beli masyarakat. Jangan sampai kemudian ketika pemerintah mendorong aturan yang menjadi bagian disinsentif fiskal itu malah justru kontraproduktif terhadap pertumbuhan ekonomi," ujarnya.
Terlebih kebijakan kenaikan PPN 12% dibarengi kebijakan yang bersifat tidak populis yaitu kenaikan UMP yang sebesar 6,5%.
"Ini beban yang luar biasa. Bahkan survei dari APINDO, empat dari 10 pengusaha itu mengalami stagnasi omset di tahun 2024. Bayangin sekitar 40% lebih itu mengalami stagnasi ini menjadi sebuah catatan penting di samping adanya indikator-indikator ekonomi makro yang lain. Misalnya kita deflasi 5 bulan berturut-turut, PMI manufaktur kita juga mengalami konstruksi selalu di bawah angka 50. Ini menjadi sebuah indikator yang tidak terbantahkan bahwa ekonomi kita ini sedang suffering," ungkapnya.