Ntvnews.id, Jakarta - Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) mengingatkan bahwa penerapan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024 berpotensi memberikan tekanan besar terhadap fiskal negara. Kebijakan ini dinilai bisa mengganggu keberlangsungan sektor industri padat karya seperti tembakau, memperbesar pasar rokok ilegal, dan menggerus penerimaan negara dari sektor cukai.
Kepala Pusat Makroekonomi dan Keuangan INDEF, Rizal Taufikurahman, menilai bahwa kebijakan tersebut membutuhkan kajian ulang secara komprehensif agar tidak memperparah kondisi industri padat karya.
“Arahan Presiden Prabowo untuk menderegulasi kebijakan yang menghambat ekonomi merupakan langkah strategis untuk merespons ancaman PHK yang semakin nyata di sejumlah sektor industri termasuk akibat dari kebijakan tarif Trump,” jelas Rizal dalam keterangannya, Kamis, 22 Mei 2025.
Meski demikian, Rizal menegaskan bahwa proses deregulasi tidak boleh disalahartikan sebagai pelonggaran tanpa arah. Deregulasi, menurutnya, harus menjadi proses penataan ulang regulasi agar lebih sesuai dengan kondisi dan kebutuhan yang ada. Ia juga menyoroti bahwa penyusunan PP 28/2024 minim partisipasi bermakna dari publik maupun pemangku kepentingan terkait.
Lebih jauh, ia menyarankan pemerintah untuk menggelar audit menyeluruh terhadap regulasi di berbagai sektor, khususnya yang bersifat padat karya seperti industri makanan dan minuman serta tembakau, yang telah menyerap jutaan tenaga kerja di dalam negeri.
Meskipun PP 28/2024 bertujuan meningkatkan aspek kesehatan masyarakat dan patut diapresiasi dari sisi niat kebijakan, Rizal menggarisbawahi bahwa sejumlah pasalnya justru dapat berdampak negatif terhadap sektor tembakau. Di antaranya, larangan penjualan rokok dalam radius 200 meter dan larangan pemasangan iklan rokok dalam radius 500 meter dari sekolah dan taman bermain, serta rencana kebijakan plain packaging atau kemasan polos tanpa identitas merek.
“PP 28/2024 berpotensi menimbulkan dampak serius terhadap industri tembakau yang menyerap jutaan tenaga kerja. Aturan zonasi penjualan dan pelarangan iklan yang terlalu ketat bisa mengganggu rantai distribusi, menurunkan omzet pelaku usaha ritel, dan pada akhirnya memicu gelombang PHK, terutama di sektor buruh linting dan petani tembakau,” ucap Rizal.
Ia menilai bahwa pemerintah semestinya memandang industri tembakau sebagai bagian dari ekosistem ekonomi yang kompleks dan sangat padat karya, bukan sekadar dari sisi konsumsi. Ia juga memperingatkan bahwa sejumlah pasal dalam PP tersebut dan wacana aturan turunannya bisa memperlemah sektor industri legal dan mendorong pertumbuhan rokok ilegal.
“Wacana ini berpotensi menurunkan daya tarik produk legal dan memperbesar ceruk pasar bagi rokok ilegal yang tidak menyumbang cukai,” jelasnya.
Rizal mencatat bahwa rata-rata kontribusi cukai hasil tembakau terhadap APBN mencapai Rp218 triliun per tahun. Jika konsumsi publik bergeser ke produk ilegal, potensi kerugian penerimaan negara bisa mencapai puluhan triliun rupiah setiap tahunnya.
“Kebijakan ini berisiko menciptakan lubang fiskal yang cukup besar,” tegas Rizal.
Ia mengusulkan bahwa solusi terhadap persoalan ini tidak cukup dengan memperketat regulasi. Yang lebih penting menurutnya adalah memperkuat mekanisme pengawasan dan meningkatkan edukasi publik.
“Solusinya bukan sekadar memperketat aturan, tetapi memperkuat pengawasan, edukasi konsumen, tidak menaikan cukai, memastikan bahwa kebijakan yang diambil tidak memberi ruang pada pasar ilegal tumbuh,” tuturnya.
Rizal juga menegaskan bahwa pencapaian target pertumbuhan ekonomi sebesar 8 persen seperti yang dicanangkan Presiden Prabowo sangat bergantung pada kontribusi sektor manufaktur dan padat karya, termasuk industri tembakau. Menurutnya, kebijakan yang terlalu membatasi tanpa disertai roadmap yang jelas bisa merusak potensi pertumbuhan tersebut.
Industri tembakau, imbuhnya, berperan besar dalam menopang rantai ekonomi nasional, mulai dari petani, buruh linting, sektor logistik dan distribusi, hingga kontribusi terhadap penerimaan fiskal. Jika kebijakan yang terlalu ketat diterapkan tanpa solusi mitigasi yang konkret, maka impian membangun ekonomi inklusif hanya akan menjadi slogan kosong.
“Pemerintah harus meninjau ulang pendekatan ‘one size fits all’ terhadap sektor tembakau dan lebih mengedepankan model kebijakan yang proporsional, berbasis data, dan inklusif. Keseimbangan antara kesehatan dan ekonomi harus dijadikan fondasi utama dalam proses perumusan regulasi industri tembakau,” tutup Rizal.