Ntvnews.id, Jakarta - Para pelaku dalam ekosistem industri hasil tembakau (IHT), mulai dari petani, pengusaha hingga pekerja, mengajukan seruan agar pemerintah memberlakukan moratorium atau penangguhan kenaikan Cukai Hasil Tembakau (CHT) selama tiga tahun ke depan. Mereka mengungkapkan kekhawatiran terhadap dampak negatif dari lonjakan cukai yang dinilai semakin tinggi setiap tahunnya dan berpotensi mengancam keberlangsungan sektor ini serta mata pencaharian jutaan orang.
Moratorium tersebut dianggap sebagai langkah penting untuk melindungi IHT dari krisis berkepanjangan akibat tekanan kebijakan dan ketidakpastian ekonomi global. Ketua Federasi Serikat Pekerja Rokok Tembakau Makanan Minuman Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (FSP-RTMM SPSI), Sudarto, mengatakan bahwa permintaan penundaan kenaikan cukai merupakan solusi realistis untuk menjaga sektor padat karya seperti IHT agar tetap bertahan.
“Penundaan kebijakan cukai di tiga tahun ke depan adalah langkah yang sangat realistis agar IHT bisa bernapas, melakukan penyesuaian, dan membenahi diri. Ini bukan untuk memanjakan industri, tapi agar pekerja IHT juga dapat lebih lega tanpa waswas kehilangan pekerjaan akibat cukai naik tiap tahun,” ujar Sudarto dalam keterangannya, Senin, 9 Juni 2025.
Ia menambahkan bahwa kebijakan cukai yang terlalu tinggi terbukti tidak efektif menurunkan konsumsi rokok, melainkan malah memperbesar peredaran rokok ilegal yang berdampak buruk pada industri resmi dan pendapatan negara. Menurutnya, FSP-RTMM telah mengirim surat resmi kepada Presiden Prabowo Subianto untuk meminta agar kenaikan cukai dihentikan sementara selama tiga tahun.
Baca Juga: Danantara-BlackRock Jajaki Peluang Investasi Sektor Hilirisasi Mineral dan EBT
“Saat CHT naik, pekerja terdampak akibat pabrik tutup dan pasar ilegal tumbuh. Ini yang kami suarakan terus-menerus, pendekatan cukai rokok yang eksesif tidak menyelesaikan masalah, justru memperburuknya,” kata Sudarto lagi.
Lebih lanjut, ia mengingatkan bahwa sektor makanan-minuman dan hasil tembakau mempekerjakan jutaan orang. Oleh karena itu, dukungan dari pemerintah dianggap sebagai bentuk perlindungan terhadap hak atas pekerjaan yang layak sebagaimana diamanatkan oleh konstitusi.
“Di tengah tantangan ekonomi global dan ancaman PHK massal, keberpihakan pemerintah kepada industri makanan-minuman dan IHT menjadi bentuk nyata perlindungan terhadap hak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak sebagaimana diamanatkan Undang-Undang Dasar 1945,” tambahnya.
Seruan serupa datang dari kalangan petani. Koordinator Nasional Asosiasi Petani dan Pekerja Tembakau Nusantara (APPTN), Samukrah, menilai bahwa moratorium kenaikan cukai sangat penting untuk menjaga kelangsungan hidup para petani tembakau.
Baca Juga: Profil Kusnadi, Eks Ketua DPRD Jatim yang Hilang di Peternakan
“Kami yang ada di posisi hulu, di posisi petani, sangat menyambut baik dan gembira sekali jika moratorium tiga tahun ke depan diterapkan,” ungkap Samukrah.
Ia menjelaskan bahwa stabilitas harga bahan baku akan lebih terjaga dengan adanya moratorium, yang berdampak langsung pada pendapatan petani. “Kenaikan cukai yang berlebihan berisiko langsung terhadap pendapatan petani. Kekhawatiran ini semakin besar jika pemerintah tetap melanjutkan tren kenaikan CHT di tahun-tahun mendatang,” ujarnya.
Sektor IHT kini berada dalam tekanan yang kian berat. Data menunjukkan jumlah pabrik rokok menurun drastis dari sekitar 2.000 unit pada 2011 menjadi hanya sekitar 200 pada 2024. Efeknya terasa tajam pada sektor tenaga kerja, terutama di segmen Sigaret Kretek Tangan (SKT), yang kehilangan sekitar 67.000 pekerja sepanjang 2015–2022.
Baca Juga: Israel Cegat Kapal Bantuan ke Gaza yang Bawa Greta Thunberg dan Aktivis Internasional
Kontraksi sebesar -3,77% dalam sektor pengolahan tembakau pada kuartal I 2025 (menurut BPS), menjadi peringatan serius jika dibandingkan dengan pertumbuhan 7,63% di periode yang sama tahun sebelumnya. Di Jawa Timur saja, sekitar 54.000 pekerja rokok di segmen SKT terancam kehilangan pekerjaan akibat tekanan regulasi yang terus meningkat.
Ketua Dewan Pengawas BPJS Ketenagakerjaan, Muhammad Zuhri, memperkirakan bahwa jumlah pemutusan hubungan kerja (PHK) secara nasional bisa mencapai 280.000 orang sepanjang 2025. Data dari Kementerian Ketenagakerjaan menunjukkan bahwa hingga 20 Mei 2025, sudah terjadi 26.455 kasus PHK di berbagai sektor.
Permintaan moratorium ini muncul di tengah perdebatan mengenai efektivitas kebijakan cukai yang bertujuan menekan konsumsi, meningkatkan penerimaan negara, menjaga kelangsungan industri legal, serta mengendalikan peredaran produk ilegal. Para pemangku kepentingan mendesak pemerintah untuk mengevaluasi ulang pendekatan kebijakan cukai agar lebih seimbang dan selaras dengan pembangunan ekonomi nasional yang inklusif dan pro tenaga kerja.