Wamen ESDM: Transisi Energi Jadi Faktor Utama Penutupan Kilang Global

NTVNews - Berita Hari Ini, Terbaru dan Viral - 12 Sep 2025, 16:30
thumbnail-author
Satria Angkasa
Penulis
thumbnail-author
Tasya Paramitha
Editor
Bagikan
Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Yuliot Tanjung memberi keterangan ketika ditemui di Kantor Kementerian ESDM, Jakarta, Jumat 12 September 2025. (ANTARA/Putu Indah Savitri) Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Yuliot Tanjung memberi keterangan ketika ditemui di Kantor Kementerian ESDM, Jakarta, Jumat 12 September 2025. (ANTARA/Putu Indah Savitri) (Antara)

Ntvnews.id, Jakarta - Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Yuliot Tanjung, menilai bahwa penutupan sejumlah kilang minyak di berbagai negara, seperti China, Amerika Serikat, kawasan Eropa, hingga Australia, tidak lepas dari dampak transisi energi.

“Jadi, untuk kilang global ya mungkin itu karena transisi energi,” ujar Yuliot ketika ditemui di Kantor Kementerian ESDM, Jakarta, Jumat, 12 September 2025.

Yuliot mencontohkan Tiongkok yang perlahan mengganti kendaraan berbahan bakar minyak dengan kendaraan listrik, baik untuk transportasi pribadi, angkutan umum, alat berat, maupun sektor logistik. Pergeseran ini membuat kebutuhan bahan bakar minyak (BBM) semakin berkurang, digantikan oleh energi berbasis baterai.

“Mereka (China) sudah 50 persen menggunakan baterai. Kalau kita lihat dari SPBU (Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum) yang ada di China, tutupnya sudah lebih dari 60 persen,” jelasnya.

Baca Juga: ESDM Berencana Impor BBM dari AS untuk Atasi Kelangkaan di SPBU Swasta

Pernyataan Yuliot berkaitan dengan paparan Wakil Direktur Utama PT Pertamina (Persero), Oki Muraza, yang sebelumnya mengungkapkan bahwa menjelang tahun 2030, diproyeksikan sebanyak 17 kilang minyak di dunia akan berhenti beroperasi.

Menurut Oki, penutupan itu dipengaruhi oleh sejumlah tantangan dalam industri minyak global, di antaranya harga minyak mentah yang kian rendah. “Dari yang diasumsikan seharga 82 dolar AS per barel, kini berada di sekitar 66 dolar AS per barel,” ujarnya.

Selain itu, lanjut Oki, persoalan lain yang turut menekan industri adalah adanya kelebihan pasokan, baik minyak mentah maupun produk-produk hasil kilang.

"Ini yang menyebabkan profitabilitas dari kilang yang rendah. Tentu menjadi tantangan tersendiri bagi Pertamina dan perusahaan energi lainnya, baik nasional maupun internasional,” katanya.

Tekanan margin kilang yang semakin tipis inilah yang kemudian mendorong Pertamina melakukan langkah strategis, salah satunya dengan menggabungkan tiga anak usahanya: Kilang Pertamina Internasional, Pertamina Patra Niaga, dan Pertamina International Shipping.

(Sumber: Antara)

x|close