"Kalau di keluarga kami, bandengnya akan dipakai untuk pengajian saat bulan 'Ruwah' sebelum masuk bulan Ramadan," ujar Fatma, yang saat itu baru saja membeli beberapa potong ikan berukuran sedang.
Sekretaris Jenderal Perhimpunan Indonesia Tionghoa (INTI), Candra Jap, menjelaskan bahwa tradisi menyantap ikan bandeng saat Imlek lebih umum dijumpai di komunitas Tionghoa yang berada di Jakarta dan sekitarnya.
Kebiasaan ini juga dipengaruhi oleh tradisi Betawi yang dikenal sebagai "nganter bandeng", yaitu memberikan ikan bandeng sebagai hantaran dari calon menantu kepada calon mertua.
Salah satu pedagang ikan bandeng di Rawa Belong, Evi, yang sudah berjualan selama belasan tahun, mengungkapkan bahwa permintaan ikan bandeng meningkat tajam saat Imlek.
"Rata-rata pembeli adalah ibu rumah tangga yang membeli beberapa ekor, tetapi ada juga dari perusahaan yang bisa membeli sampai puluhan kilogram," katanya.
Ikan bandeng sendiri memiliki makna filosofis yang mendalam. Dalam bahasa Mandarin, kata "ikan" disebut sebagai "yu", yang memiliki bunyi serupa dengan kata "yu" yang berarti surplus atau berkelimpahan. Selain itu, duri ikan bandeng yang banyak melambangkan filosofi bahwa hidup harus dijalani dengan penuh kehati-hatian dan tidak tergesa-gesa.
"Tradisi ini jelas menjadi bukti bahwa (masyarakat) Tionghoa dan Betawi sudah sejak lama hidup berdampingan dan saling memengaruhi baik dari aspek budaya, kesenian, hingga kuliner," ujarnya.