Ntvnews.id, Jakarta - Grup Facebook 'Fantasi Sedarah' yang menggegerkan Tanah Air menjadi pusat perhatian publik. Grup yang berisi 32 ribu lebih individu itu banyak membahas perilaku seks menyimpang inses.
Inses atau hubungan seksual antar anggota keluarga sedarah, seperti orang tua dengan anak atau antar saudara kandung, bukan hanya dianggap sebagai pelanggaran moral dan hukum di hampir semua negara dan agama, tetapi juga menyimpan bahaya besar dari sisi kesehatan genetika.
Salah satu risiko paling serius dari hubungan inses adalah meningkatnya kemungkinan anak yang lahir mengalami kelainan bawaan, cacat fisik, atau gangguan mental. Hal ini bukan sekadar asumsi, melainkan fakta ilmiah yang sudah lama diakui dunia medis.
Pewarisan Genetik dan Risiko Ganda
Setiap manusia membawa dua salinan gen—satu dari ibu dan satu dari ayah. Sebagian besar mutasi genetik yang menyebabkan penyakit bersifat resesif, artinya tidak akan menimbulkan gangguan jika hanya satu salinan yang rusak. Namun, jika kedua orang tua memiliki mutasi yang sama dan mewariskannya secara bersamaan, risiko anak untuk mengidap penyakit genetik meningkat drastis.
Dalam hubungan inses, pasangan memiliki kesamaan genetik yang jauh lebih besar dibanding pasangan dari populasi umum. Ini berarti kemungkinan mereka membawa dan menurunkan mutasi yang sama jauh lebih tinggi. Akibatnya, anak yang lahir dari hubungan ini memiliki risiko ganda untuk mewarisi gen cacat dari kedua orang tuanya.
Dampak Kesehatan pada Anak Hasil Inses
Anak-anak hasil inses lebih berisiko mengalami:
Kelainan genetik langka, seperti sindrom recessive autosomal (misalnya Tay-Sachs, fibrosis kistik, atau thalassemia). Cacat fisik, termasuk kelainan bentuk wajah, tulang, atau organ tubuh seperti jantung dan ginjal. Gangguan intelektual, seperti keterbelakangan mental atau kesulitan belajar berat. Kelainan neurologis, seperti autisme berat, kejang, atau gangguan perkembangan otak. Risiko kematian dini, baik saat lahir (kematian neonatal) maupun dalam masa kanak-kanak.
Penelitian yang dipublikasikan dalam jurnal medis seperti The Lancet dan Nature Genetics menunjukkan bahwa anak dari hubungan antar kerabat dekat memiliki kemungkinan dua hingga tiga kali lipat lebih besar untuk mengalami kelainan bawaan dibandingkan anak dari pasangan tanpa hubungan darah.
Contoh Nyata dari Sejarah dan Studi Klinis
Beberapa keluarga kerajaan pada masa lalu, seperti dinasti Habsburg di Eropa, menjadi contoh bagaimana pernikahan antar kerabat (inbreeding) bisa menyebabkan penurunan kualitas kesehatan secara drastis dalam beberapa generasi. Salah satu ciri yang paling terkenal adalah “rahang Habsburg,” kelainan genetik akibat pernikahan antar sepupu yang terjadi berulang kali.
Di ranah ilmiah modern, berbagai studi kasus di komunitas tertutup yang sering melakukan pernikahan antar kerabat juga menunjukkan peningkatan signifikan dalam prevalensi gangguan perkembangan, cacat bawaan, dan kematian dini.
Aspek Psikologis dan Sosial
Selain dampak biologis, anak hasil inses juga sering lahir dari konteks relasi yang tidak sehat, seperti kekerasan seksual atau penyalahgunaan kekuasaan dalam keluarga. Hal ini menambah beban psikologis yang berat—baik pada anak maupun ibu yang mengandung. Stigma sosial terhadap anak hasil inses pun kerap menyebabkan isolasi, perundungan, dan gangguan kesehatan mental yang berkelanjutan.
Risiko kelainan bawaan, cacat fisik, dan gangguan mental pada anak hasil inses bukanlah sekadar mitos, melainkan realita yang didukung oleh ilmu pengetahuan. Hubungan sedarah menimbulkan ancaman serius terhadap kesehatan generasi yang dilahirkan dari praktik tersebut. Oleh karena itu, inses dilarang secara moral, agama, dan hukum demi melindungi martabat dan keselamatan manusia, khususnya anak-anak yang berhak untuk lahir dalam kondisi fisik dan mental yang sehat.
Melarang inses bukan hanya bentuk menjaga norma, tetapi juga tindakan nyata untuk mencegah penderitaan generasi berikutnya akibat warisan genetik yang berbahaya.