Ntvnews.id, Jakarta - Kepala Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) RI, Prof. Taruna Ikrar, mengakui bahwa obat-obatan impor masih menguasai pasar industri farmasi Indonesia dalam penanganan penyakit di masyarakat.
"Jumlah ekspor untuk obat saja Rp6,7 triliun, sementara yang kita impor Rp176 triliun, jadi berkali lipat dan ini perlu kita ubah," ujar Prof. Taruna saat Rapat Kerja Nasional (Rakernas) Ikatan Apoteker Indonesia di Makassar, Sulawesi Selatan, Kamis lalu.
Sebagai bagian dari pemerintah, Taruna menegaskan bahwa pihaknya terus berupaya mengubah kondisi ini agar produk obat dalam negeri bisa menjadi “raja di negeri sendiri,” salah satunya dengan mewujudkan industri farmasi yang lebih sehat.
Dalam menjalankan tugasnya, Kepala BPOM ini menegaskan bahwa proses peninjauan sertifikasi pembuatan obat dilakukan secara sangat teliti dan berhati-hati, termasuk dalam monitoring serta evaluasi berbagai industri farmasi sebagai bagian dari pendampingan dan supervisi.
"Jadi kalau ditanya bagaimana industri farmasi kita menguasai untuk menjadi raja di negeri kita, saya yakin potensi itu ada. Tetapi yang paling penting tentu sumber daya manusianya, apotekernya harus pandai," katanya.
Prof. Taruna kemudian memaparkan potensi industri obat di Indonesia saat ini, di mana terdapat 272 industri obat yang memiliki pabrik dan 3.009 perusahaan farmasi besar.
"Apotek, toko obat, dan instalasi kefarmasian menembus angka 60 ribuan lebih se Indonesia," ungkapnya.
Selain itu, ia menyoroti potensi besar Indonesia dalam pengembangan ekstrak obat dari tumbuhan. Indonesia memiliki lebih dari 17.200 jenis tumbuhan berpotensi obat, namun baru 78 jenis yang telah terstandarisasi dan 21 jenis yang berhasil difitofarmakan.
"Revenue obat herbal ini saja ada Rp350 triliun tiap tahun. Potensi pasar sangat besar, tetapi butuh digarap," tambahnya.
Dalam rangka meningkatkan ekspor produk kefarmasian, BPOM mendorong hadirnya kebijakan yang mendukung iklim investasi serta pengembangan teknologi kefarmasian dan obat-obatan.
"Kita akan permudah dan mempercepat sertifikasinya sehingga research and development-nya maju," ujar Prof. Taruna.
Selain SDM dan kebijakan produk, teknologi farmasi Indonesia juga harus maju dan unggul. Untuk itu, diperlukan transfer teknologi dengan melibatkan kerja sama dari negara-negara maju.
"Selanjutnya, produknya itu setelah diproduksi harus kualitasnya bagus, sehingga hasilnya tidak hanya dipakai di negeri kita, tetapi harus bisa diekspor. Itu yang kami lagi kembangkan bersama-sama kemampuan industri farmasi," tuturnya.
Saat ini, BPOM berupaya memberikan reputasi terbaik bagi produk Indonesia agar layak menjadi alternatif utama di pasar internasional. Salah satu langkahnya adalah mendaftarkan BPOM ke dalam otoritas WHO (Badan Kesehatan Dunia), yang menjadikan Indonesia setara dengan Badan POM Amerika, Eropa, dan negara maju lainnya.
"Sehingga apapun produk Indonesia bisa dipasarkan secara bebas di negara tersebut jika sudah setara," tutup Prof. Taruna.
Sumber: ANTARA