Kedua, Poltracking sangat ketat dalam proses sampling. Bagi kami Primary Sampling Unit (PSU) 200 kelurahan yang didapat dari proses sampling pertama kali, merupakan unit sampel utama, yang harus dipertahankan untuk tidak ada perubahan PSU, kecuali karena kendala yang mengharuskan tidak ada pilihan lain, selain mengganti PSU. Karena itu, dalam pelaksanaan survei di Jakarta, hanya ada pergantian PSU pada 3 kelurahan, karena alasan banyaknya kawasan elite yang tidak bisa diakses oleh surveyor. Dalam pelaksanaan survei di lapangan, Poltracking berusaha untuk mendapatkan izin dari kelurahan. Tetapi jika ada kendala atau dipersulit oleh pihak kelurahan, kami meminta surveyor mencari informasi data RT/RW dan KK dari sumber lain seperti warga ataupun website yang terpercaya, untuk diinput pada aplikasi survei Poltracking dan melakukan pengacakan RT dan KK sampai responden terpilih. Berdasarkan pengalaman survei Poltracking sumber informasi dari warga ataupun website yang terpercaya di luar kelurahan tetap relevan sepanjang data tersebut valid dan dapat dipertanggungjawabkan. Karena dalam pelaksanaan survei kita kerap berhadapan dengan berbagai kendala yang dapat mengganggu dan mengubah PSU, apalagi untuk konteks kota besar seperti Jakarta. Poltracking sangat ketat soal penggantian PSU. Mempertahankan PSU awal bagi Poltracking lebih baik dari pada melakukan penggantian PSU karena alasan-alasan administratif. Tentu dengan catatan data RT/RW dan KK yang kami dapatkan dari sumber tersebut valid dan dapat dipertanggungjawabkan.
Ketiga, sebagai asosiasi, dewan etik Persepi mestinya bersikap adil dan imparsial. Memposisikan seluruh anggota Persepi secara setara. Dalam konteks perbedaan hasil survei Pilkada Jakarta, terdapat tiga survei anggota Persepi yang melakukan survei dalam waktu yang berdekatan, Poltracking Indonesia (10-16 Oktober 2024), Lembaga Survei Indonesia (LSI) (10 - 17 Oktober 2024), dan Parameter Politik Indonesia (PPI) (21-25 Oktober 2024). Survei LSI juga berbeda dengan PPI. Padahal periode survei LSI dan PPI hanya berjarak 4 hari. Kenapa Persepi hanya memanggil Poltracking dan LSI? Dan sudah mengambil keputusan. Sementara PPI tidak ikut disidang sebagaimana Poltracking dan LSI. Padahal hasil survei PPI mirip dengan survei Poltracking. Mestinya semua disidang untuk dilihat secara adil siapa yang bermasalah di dalam survei ini.
Keempat, Poltracking berterima kasih kepada publik yang terus memberikan perhatian. Kontrol publik penting sebagai masukan bagi kami dalam melaksanakan kegiatan survei, agar setiap hasil survei yang kami lakukan bisa dipertanggungjawabkan secara akademik. Poltracking sudah lama terlibat dalam berbagai kegiatan survei, dari Pemilu 2014, Pilkada 2015, Pilkada 2017, Pilkada 2018, Pemilu 2019, Pilkada 2020, dan Pemilu 2024. Hasil survei Poltracking memprediksi kecenderungan Pilpres 2024 berlangsung satu putaran. Hasil Quick Count Poltracking paling presisi di antara anggota-anggota Persepi. Termasuk hasil Pilpres 2019, hasil survei hanya selisih 1% dan quick count selisih 0.52% dengan hasil resmi KPU. Paling presisi di antara berbagai hasil lembaga survei. Bahkan Quick count Poltracking di Pilkada Bengkulu 2020 selisih 0%.
Atas keempat poin itu, Masduri merasa Persepi tidak adil memperlakukan Poltracking Indonesia. Karena itu lah, dia menegaskan pihaknya keluar dari Persepi.
“Betapa naifnya, kalau Poltracking harus mempertaruhkan rekam jejak dan reputasinya
selama 12 tahun hanya gara-gara satu survei Pilkada Jakarta. Kami merasa Poltracking diperlakukan tidak adil. Sejak hari ini kami telah memutuskan keluar dari keanggotaan Persepi. Kami keluar dari Persepi bukan karena melanggar etik. Tapi karena merasa sejak awal ada anggota dewan etik Persepi yang tendensius pada Poltracking Indonesia. Biarkan publik yang menjadi hakim dan menilai, kebenaran akan menemukan jalannya!” tulisnya.