Di tengah aksi tersebut, Yoon mengaku menonton demonstrasi pendukungnya melalui siaran langsung YouTube. Ia berjanji akan "melawan" mereka yang mempertanyakan kekuasaannya, meskipun singkat. Saat ini, ia menghadapi tuntutan pemberontakan, salah satu pelanggaran yang tidak tunduk pada kekebalan presiden. Jika terbukti bersalah, ia terancam hukuman penjara atau hukuman mati.
Baca Juga: Ternyata Insiden Bird Strike Tertinggi Tercatat di Bandara Muan Korea Selatan
Apabila surat perintah tersebut dilaksanakan, Yoon akan menjadi presiden Korsel pertama yang ditangkap saat masih menjabat. Keputusan akhir mengenai pemakzulannya kini berada di tangan Mahkamah Konstitusi Korsel, yang akan memutuskan apakah mengesahkan pemakzulan oleh parlemen atau menolaknya.
Partai Demokrat, oposisi utama Korsel, menyerukan pembubaran dinas keamanan yang melindungi Yoon setelah pasukan keamanan tersebut mencegah penyidik mengakses Yoon. "Dinas Keamanan Presiden telah melanggar konstitusi dan menjadi kekuatan pemberontakan," kata Ketua DPR Park Chan-dae pada Sabtu.
Dinas keamanan presiden menolak permintaan polisi untuk diinterogasi, dengan alasan pentingnya perlindungan terhadap Yoon. Penyelidikan atas deklarasi darurat militer Yoon kini berada di bawah Kantor Investigasi Korupsi (CIO), sementara penjabat presiden Choi Sang-mok didesak memerintahkan kerja sama penuh dinas keamanan.
Di tengah situasi tersebut, Menteri Luar Negeri AS Antony Blinken tiba di Seoul. Ia diharapkan mendorong stabilitas kebijakan tanpa mendukung taktik Yoon dalam pertemuan dengan mitranya, Cho Tae-yul, pada Senin mendatang.
Pengacara Yoon mengecam upaya penangkapan sebagai tindakan "melanggar hukum dan tidak sah" dan berjanji akan mengambil langkah hukum. Upaya penangkapan pada Jumat, 3 Januari 2025 akhirnya gagal setelah pengawal Yoon menghalangi penyidik dengan alasan keamanan.