Ntvnews.id, Islamabar - Ketegangan antar-penganut Islam dari berbagai aliran sering terjadi di negara-negara mayoritas Muslim. Di Pakistan, misalnya, bentrokan antara kelompok Sunni dan Syiah semakin meningkat belakangan ini. Namun, di sebuah desa di utara Pakistan, kedua komunitas tersebut justru hidup berdampingan dengan harmonis.
Dilansir dari BBC, Senin, 31 Maret 2025, Desa itu bernama Pira, yang terletak di Provinsi Khyber Pakhtunkhwa. Jika mengunjungi desa ini, salah satu pemandangan pertama yang akan ditemui adalah sebuah masjid dengan menara baja dan pengeras suara besar di atapnya.
Selain memiliki nilai sejarah, masjid ini juga menjadi simbol persatuan, karena digunakan bersama oleh penduduk desa, baik yang beraliran Sunni maupun Syiah.
Ketika azan berkumandang, salah satu kelompok akan masuk ke dalam masjid untuk melaksanakan salat. Sekitar 15 menit kemudian, setelah mereka menyelesaikan ibadahnya, kelompok lainnya akan bergantian masuk untuk beribadah.
Baca Juga: ISIS Klaim Atas Aksi Penembakan di Masjid Syiah yang Menewaskan 9 Orang
Tentu saja, masing-masing kelompok melaksanakan salat sesuai dengan tradisi mereka sendiri. Bahkan, azan yang dikumandangkan pun berbeda, tergantung dari kelompok mana yang saat itu bertugas mengumandangkannya.
Ada kesepakatan tak tertulis bahwa azan pagi, siang, dan sore dikumandangkan oleh komunitas Syiah, sedangkan azan sore dan malam menjadi tanggung jawab komunitas Sunni.
Selama bulan Ramadan, kaum Sunni berbuka puasa beberapa menit lebih awal dibandingkan kaum Syiah. Oleh karena itu, selama bulan suci ini, azan sore dikumandangkan secara terpisah.
Di waktu salat mana pun, jika ada anggota kelompok pertama yang datang terlambat, mereka bisa bergabung dengan kelompok kedua dan tetap melaksanakan salat sesuai dengan cara mereka sendiri bersama jamaah lain yang berbeda aliran.
Meski terdapat beberapa masjid lain di Pira, masjid yang digunakan bersama oleh komunitas Sunni dan Syiah ini adalah yang terbesar.
BBC melaporkan bahwa sebuah masjid di Desa Pira, di utara Pakistan, telah menjadi simbol persatuan, tempat di mana penganut Sunni dan Syiah bersatu dalam keimanan dan hidup berdampingan dalam kerukunan.
Harmoni antara kedua kelompok ini sudah berlangsung lama. Sekitar 100 tahun lalu, mayoritas penduduk Pira merupakan penganut Sunni Sufi. Mereka diyakini sebagai keturunan dari pendiri desa tersebut pada abad ke-17.
Baca Juga: Volume Lalu Lintas Tol Jakarta-Cikampek Menurun Jelang H-1 Lebaran 2025
Menurut Sibtain Bukhari, seorang sejarawan lokal, sebagian penduduk kemudian beralih ke Syiah, sementara sebagian lainnya tetap memeluk ajaran Sunni.
Kendati berbeda aliran, kedua kelompok tetap menggunakan masjid secara bersama-sama. Pada akhir 1980-an, seorang tetua Syiah setempat mengusulkan renovasi masjid tersebut.
Molvi Gulab Shah, seorang ulama Sunni, menyetujui rencana ini dengan syarat bahwa masjid tetap digunakan bersama oleh kedua kelompok.
Akhirnya, para tetua Syiah membiayai pembangunan kembali masjid, sehingga secara hukum bangunan itu menjadi milik mereka.
Namun, dalam praktiknya, kepemilikan ini tidak mengubah apa pun. Syed Mazhar Ali Abbas, seorang pengkhotbah Syiah di masjid tersebut, menegaskan bahwa kaum Sunni tetap memiliki hak yang sama untuk menggunakannya.
Masjid ini bisa dikatakan sebagai pusat kehidupan masyarakat Desa Pira yang bersatu.
Saat ini, Desa Pira dihuni sekitar 5.000 orang yang terbagi rata antara penganut Sunni dan Syiah. Kedua kelompok ini bersama-sama membiayai listrik dan operasional masjid.
Mereka hidup berdampingan dalam kedamaian dan kebahagiaan. Selain masjid, mereka juga berbagi lahan pemakaman. Tak jarang, pernikahan antar-penganut aliran yang berbeda terjadi di desa ini.
Namun, hal itu bukan karena perbedaan aliran. Salah satu penduduk mengatakan bahwa ia menikah atas dasar cinta, bukan karena perjodohan, seperti yang umum terjadi di Pakistan.
Ia telah menjalani pernikahan selama hampir 18 tahun, dan ia serta istrinya tetap menjalankan keyakinan mereka masing-masing.
Penduduk lain, Amjad Hussain Shah, mengungkapkan bahwa dalam beberapa keluarga, orang tua mungkin beraliran Syiah sementara anak-anak mereka menganut Sunni, atau sebaliknya.
"Orang-orang di sini memahami bahwa keyakinan agama adalah masalah pribadi," ujarnya.
BBC melaporkan bahwa di Desa Pira, penganut Sunni dan Syiah hidup berdampingan dengan rukun. Pernikahan antara dua kelompok ini pun bukan hal yang langka.
Bentuk integrasi lainnya terlihat dalam perayaan hari-hari besar keagamaan. Saat Idul Adha, penganut Sunni dan Syiah terkadang membeli satu hewan kurban bersama untuk memperingati pengorbanan Nabi Ibrahim.
Ketika Sunni merayakan Maulid Nabi Muhammad, penganut Syiah sering turut berpartisipasi, menurut Syed Sajjad Hussain Kazmi, seorang pengkhotbah Sunni.
Sebaliknya, saat Muharam, kaum Sunni juga hadir dalam acara peringatan kesyahidan Imam Husein, cucu Nabi Muhammad, yang diadakan oleh komunitas Syiah.
Dengan cara ini, penduduk desa dapat saling berbagi suka dan duka, memperkuat persatuan mereka di tengah perbedaan.