Ntvnews.id
Dalam sidang tersebut, majelis hakim menolak nota keberatan atau eksepsi yang diajukan tim kuasa hukum terkait kasus dugaan perintangan penyidikan dan pemberian suap dalam perkara Harun Masiku.
"Kami mengharapkan eksepsi kami diterima, karena kasus ini tidak ada dasarnya dan penuh nuansa politik. Politisasi kasus ini begitu luar biasa," ujar Todung kepada awak media usai persidangan di Pengadilan Tipikor Jakarta, Jumat, 11 April 2025.
Todung juga menyoroti sejumlah kejanggalan dalam proses hukum yang menjerat kliennya. Ia menilai penanganan perkara Hasto berlangsung sangat cepat, mulai dari tahap penyidikan, penetapan tersangka (P21), hingga proses pengadilan.
Menurutnya, percepatan tersebut menimbulkan tanda tanya besar dan memperkuat kesan adanya motif politis di balik kasus ini.
Baca juga: Megawati Persilakan Prabowo Pakai Kader PDIP buat Bantu Pemerintah
Todung Mulya Lubis turut mempertanyakan langkah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam menetapkan Hasto Kristiyanto sebagai terdakwa. Ia menyoroti bahwa pimpinan KPK saat itu baru saja dilantik, sehingga menurutnya seharusnya ada kasus korupsi lain yang lebih mendesak untuk ditangani lebih dulu.
Todung bahkan menyebut wajar jika publik menduga bahwa proses hukum ini memiliki muatan politis, termasuk dugaan upaya menghalangi Hasto agar tetap menjabat sebagai Sekjen PDI Perjuangan dalam kongres partai yang akan datang.
Selain itu, ia juga menilai proses pemeriksaan perkara berlangsung tidak seimbang. Salah satunya adalah sikap jaksa penuntut umum yang tidak mengakomodasi pemanggilan saksi dari pihak Hasto.
"Prinsip equality in arms dilanggar. Penuntut umum dapat waktu sangat longgar, termasuk memanggil saksi-saksi dari KPK," ungkap Todung.
Ia menjelaskan bahwa prinsip equality in arms atau kesetaraan dalam proses hukum merupakan asas penting untuk memastikan keadilan bagi kedua belah pihak—baik jaksa penuntut umum maupun tim kuasa hukum terdakwa.
Menurut Todung, dalam perkara ini, jaksa penuntut umum mendapat waktu yang lebih longgar dan kebebasan dalam menghadirkan saksi, termasuk dari internal KPK. Sementara, saksi yang diajukan oleh pihak Hasto tidak mendapat perlakuan yang sama.
"Jadi hal-hal semacam ini tidak boleh terjadi kalau kita ingin mencari kebenaran materiel," tegasnya.
Dalam perkara dugaan perintangan penyidikan dan suap terkait kasus korupsi Harun Masiku, Sekjen PDI Perjuangan Hasto Kristiyanto didakwa menghalangi proses hukum yang berlangsung sejak 2019 hingga 2024.
Baca juga: Pengadilan Tipikor Izinkan Uskup Agung Jakarta Kunjungi Hasto di Rutan KPK
Jaksa penuntut menduga Hasto memerintahkan Harun Masiku, melalui penjaga Rumah Aspirasi bernama Nur Hasan, untuk merendam telepon genggam milik Harun ke dalam air. Tindakan itu dilakukan setelah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melakukan operasi tangkap tangan terhadap Anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) periode 2017–2022, Wahyu Setiawan.
Tidak berhenti di situ, Hasto juga diduga menginstruksikan ajudannya, Kusnadi, untuk menenggelamkan telepon genggam lain sebagai langkah antisipasi terhadap kemungkinan penggeledahan oleh penyidik KPK.
Selain menghalangi proses penyidikan, Hasto juga didakwa bekerja sama dengan beberapa pihak, yakni advokat Donny Tri Istiqomah, mantan terpidana dalam kasus yang sama Saeful Bahri, serta Harun Masiku. Mereka diduga memberikan suap sebesar 57.350 dolar Singapura atau sekitar Rp600 juta kepada Wahyu Setiawan dalam kurun waktu 2019–2020.
Suap tersebut diduga diberikan agar Wahyu Setiawan memengaruhi KPU untuk menyetujui permohonan pergantian antarwaktu (PAW) anggota DPR terpilih dari Daerah Pemilihan Sumatera Selatan I, Riezky Aprilia, agar digantikan oleh Harun Masiku.
Atas seluruh tindakan tersebut, Hasto kini menghadapi ancaman pidana berdasarkan Pasal 21 dan Pasal 5 ayat (1) huruf a atau Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001. Ia juga dijerat dengan Pasal 65 ayat (1) dan Pasal 55 ayat (1) ke-1 juncto Pasal 64 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
(Sumber: Antara)