Ntvnews.id, Jakarta - Polri dinilai bukan sekadar institusi penegak hukum. Namun representasi dari post-authoritarian statecraft, atau sebuah seni dan tata kelola negara pasca-otoritarianisme, yang menjadi indikator utama keberhasilan demokrasi prosedural di Indonesia.
Hal ini dinyatakan R. Haidar Alwi, pendiri Haidar Alwi Care dan Haidar Alwi Institute, saat menyampaikan refleksi tajam mengenai peran strategis Polri dalam lanskap kenegaraan pasca reformasi.
"Dengan melepaskan diri dari bayang-bayang militer dan bergerak menuju pola institusional sipil, Polri mengemban mandat transisional yang sangat kompleks: menjaga keamanan dalam bingkai demokrasi, bukan dalam rezim koersif," ujarnya, Minggu, 13 April 2025.
Transformasi Polri dalam dua dekade terakhir, kata dia, juga menandai lahirnya disembedded policing, yaitu praktik kepolisian yang terlepas dari kontrol oligarkis dan tekanan oligopolistik kekuasaan. Artinya, kepolisian tidak lagi menjadi alat kekuasaan eksekutif yang membabi buta, tetapi menjadi pelayan hukum yang independen dan akuntabel.
"Dalam sistem tata negara modern, peran semacam ini bukan saja krusial, melainkan menentukan arah masa depan supremasi hukum dan legitimasi pemerintahan sipil," jelasnya.
Menurut Haidar Alwi, kepemimpinan Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo memberikan warna baru dalam dinamika transformasi kelembagaan Polri. Dengan mengusung konsep Presisi (Prediktif, Responsibilitas, dan Transparansi Berkeadilan), Sigit dinilai mencoba menggeser kultur kepolisian dari model reactive policing, yakni tindakan setelah kejadian, ke arah predictive governance, yaitu sistem pemerintahan yang mampu membaca kecenderungan sosial dan mengintervensinya sebelum menimbulkan eskalasi.
"Dalam konteks ini, pendekatan kepolisian tidak lagi berkutat pada represi semata, melainkan masuk ke wilayah early warning system dan community engagement," papar dia.
Penerapan konsep keadilan restoratif atau restorative justice, kata Haidar menjadi contoh konkret bagaimana Polri mengedepankan prinsip resosialisasi ketimbang kriminalisasi. Misalnya, dalam kasus pidana ringan yang melibatkan masyarakat miskin atau remaja, penyelesaian konflik melalui mediasi dan pemulihan relasi sosial diutamakan daripada pemidanaan. Ini mengubah paradigma hukum pidana klasik yang selama ini bersifat retributif menghukum pelaku, menjadi korektif dan rehabilitatif.
"Langkah ini merupakan upaya konstruktif membangun budaya hukum baru yang lebih memanusiakan manusia," ucapnya.
Sementara itu, penanganan internal Polri terhadap kasus-kasus besar yang menyeret institusinya sendiri, seperti kasus pembunuhan Brigadir J, menunjukkan praktik institutional auto-correction, yaitu mekanisme koreksi dari dalam institusi sebagai bentuk kematangan moral organisasi. Penegakan hukum terhadap Irjen Ferdy Sambo dan kawan-kawan adalah ilustrasi paling mencolok bahwa Polri tidak lagi menjadi entitas impunitas atau kebal hukum, tetapi justru berani menempatkan integritas kelembagaan di atas kepentingan personal.
"Ini adalah pelajaran yang sangat mahal, sekaligus bukti bahwa reformasi kultural sedang berjalan meski belum paripurna," kata dia.
Dalam skala pelayanan publik, Haidar menyoroti keberhasilan Polri dalam menerapkan digital governance di sektor layanan kepolisian. Misalnya, peluncuran Super App Polri menjadi bentuk nyata dari e-policing, yakni digitalisasi proses birokrasi kepolisian guna meminimalisir celah korupsi, mempercepat waktu layanan, serta meningkatkan partisipasi masyarakat. Istilah ini, e-policing, masih belum banyak diketahui publik, padahal merupakan tulang punggung pelayanan modern yang efektif dan efisien.
Selain itu, kehadiran program Polisi RW yang bersifat proximity policing, yaitu strategi mendekatkan aparat dengan komunitas berbasis lokasi mikro—juga menjadi inovasi penting dalam membangun kepercayaan publik (public trust building). Polisi tidak hanya hadir saat terjadi konflik, tetapi menjadi bagian dari kehidupan sosial warga. Program ini membuat aparat memiliki sensitivitas sosial yang lebih tinggi dan mampu menyelesaikan konflik-komunal sejak dini. Haidar Alwi menyebutnya sebagai bentuk polisi partisipatoris, yakni polisi yang tumbuh bersama masyarakat, bukan polisi yang menjauh dalam menara gading kekuasaan.
Namun, Haidar Alwi juga mengingatkan bahwa keberhasilan ini masih menghadapi tantangan serius. Salah satunya adalah keberadaan shadow state, yakni struktur kekuasaan informal di dalam institusi yang bisa merusak arah kebijakan resmi. Dalam konteks Polri, shadow command atau komando bayangan bisa muncul dari elit-elit internal yang masih mempraktikkan loyalitas sempit, nepotisme, atau bahkan patronase politik.
R. Haidar Alwi.
"Reformasi struktural tidak akan efektif jika reformasi mental dan etika profesi tidak dijalankan secara paralel dan berkelanjutan," tuturnya.
Begitu pula dengan persoalan ketimpangan geografis dalam distribusi keamanan. Di wilayah terpencil, masih banyak warga yang belum merasakan manfaat nyata kehadiran Polri. Ini menandakan bahwa security justice gap, kesenjangan keadilan dalam layanan keamanan, masih perlu dijembatani melalui kebijakan alokasi sumber daya dan personel yang berbasis keadilan spasial. Haidar Alwi menyarankan agar Polri lebih aktif membangun polsek berbasis budaya lokal di kawasan adat dan perbatasan, sehingga institusi negara benar-benar hadir dalam ragam wajah Indonesia yang pluralistik.
Meski demikian, Haidar Alwi tetap memandang masa depan dengan penuh optimisme. Ia percaya bahwa bangsa ini sedang membangun civic professionalism di tubuh Polri, yakni profesionalisme berbasis nilai-nilai kewargaan. Profesionalisme yang tidak hanya mengejar capaian administratif, tetapi juga menjunjung tinggi etika publik, nilai keadilan sosial, dan semangat melayani. Dalam jangka panjang, hal ini akan membentuk institutional resilience, yaitu ketahanan institusi dari intervensi politik dan tekanan kekuasaan.
“Polri sedang berjalan menuju format terbaiknya. Masih banyak lubang, tetapi kita sudah berada di jalur yang tepat," kata Haidar Alwi.
Ia menekankan pentingnya keterlibatan publik dalam mendukung, mengawasi, dan memberi masukan bagi Polri, agar semangat reformasi tidak hanya menjadi slogan, tetapi menjadi bagian dari DNA institusional.
"Jangan pernah lelah mendorong perubahan, karena perubahan hanya terjadi jika kita ikut menjadi bagian darinya," tandas Haidar Alwi.