Ntvnews.id, Jakarta - Sejumlah pelajar SMA di Jawa Barat meluapkan kekecewaan mereka di media sosial menyusul dihapusnya larangan wisuda sekolah oleh Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi.
Keputusan tersebut dinilai mengabaikan pentingnya momen perpisahan dan selebrasi kelulusan yang dinanti para siswa. Salah satu pelajar menulis curahan hatinya, menggambarkan betapa ia telah mempersiapkan momen wisuda sejak lama.
“Kecewa itu ketika udah siapin semua demi wisuda, ngebayangin gimana cantiknya make kebaya dan make up, gagahnya pake batik dan ngebayangin gimana excited-nya momen kelulusan, seketika berubah karena aturan dilarangnya wisuda,” tulisnya, dilansir Senin, 21 April 2025.
Sentimen serupa juga diungkap pelajar lain yang merasa hak mereka untuk merayakan momen kelulusan dirampas.
“Kecewa sama aturan gubernur. Padahal kita udah jadi bahan percobaan kurikulum Merdeka, ada P5, angkatan Covid-19, sekarang dilarang ngadain perpisahan. Gak ada euforia, kenangan apa yang kita dapet? Berdoa untuk angkatan 2025-2000,” ungkapnya.
Sementara itu, Dedi Mulyadi memberikan penjelasan mengenai keputusannya yang menuai kritik tersebut. Menurutnya, tradisi wisuda yang dilakukan dari jenjang TK hingga SMA tidak lagi relevan dan hanya menjadi beban ekonomi bagi orang tua siswa.
“Wisuda TK, wisuda SD, wisuda SMP, wisuda SMA, hapus. Kebiasaan TK misalnya kegiatan manasik ditundang, gak ada kaitannya. Anak TK kok manasik? Toh nanti kalau kita pergi haji, latihan manasik juga. Pergi umrah latihan manasik juga. Ngapain sejak TK sudah manasik?” ujar Dedi.
Lebih lanjut, Dedi menilai kegiatan wisuda dan sejenisnya cenderung memunculkan siklus ekonomi yang justru menambah beban bagi keluarga.
“Intinya satu, kan itu kegiatan yang siklus ekonomi. Apa kemiskinan yang dilahirkan? Yang ikut manasiknya cucunya, kakeknya, neneknya, ikut naik truk semua. Meninggalkan pekerjaan di rumah. Ini ditekan. Untuk itu apa tujuannya? Satu, orang tua tidak dirampok oleh kegiatan pendidikan,” jelasnya.
Dedi juga menegaskan bahwa tekanan terhadap kegiatan yang berorientasi pada gaya hidup harus dikurangi agar anak-anak dapat diarahkan ke arah yang lebih produktif.
“Orang tua tidak dirampok untuk berhubungan. Orang tua tidak dirampok untuk kebutuhan gaya hidup anak-anaknya. Semua ditekan ini. Kalau semua ditekan ini, kemudian anak-anaknya diarahkan pada produktivitas, saya yakin ini selesai secara bertahan,” pungkasnya.
Meski demikian, keputusan ini memicu polemik di tengah masyarakat, terutama kalangan pelajar dan orang tua yang menganggap wisuda sebagai bentuk apresiasi atas perjuangan selama masa pendidikan. Hingga kini, perdebatan terkait pro-kontra pelarangan wisuda terus berlangsung.