Dedi Mulyadi Bertemu Langsung Remaja yang Kritik di Medsos karena Digusur

NTVNews - Berita Hari Ini, Terbaru dan Viral - 27 Apr 2025, 10:20
thumbnail-author
Deddy Setiawan
Penulis
thumbnail-author
Ramses Manurung
Editor
Bagikan
Dedi Mulyadi Bertemu Langsung Remaja yang Kritik di Medsos karena Digusur Dedi Mulyadi Bertemu Langsung Remaja yang Kritik di Medsos karena Digusur (Tangkapan Layar)

Ntvnews.id, Jakarta - Beberapa waktu lalu, seorang remaja perempuan di Kabupaten Bekasi menjadi perhatian publik setelah melayangkan kritik terhadap kebijakan Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, melalui media sosial. Kritik itu muncul setelah rumahnya yang berada di bantaran sungai digusur sebagai bagian dari program pemerintah untuk mengatasi banjir tahunan di kawasan tersebut.

Unggahan kritik itu disampaikan remaja tersebut lewat akun TikTok-nya pada Senin, 21 April 2025. Menanggapi hal itu, Dedi Mulyadi mengundang warga terdampak, termasuk sang remaja, untuk hadir dalam pertemuan yang terekam dalam video di kanal YouTube ‘Kang Dedi Mulyadi Channel’ pada Sabtu , 26 April 2025.

Dalam pertemuan itu, Dedi tidak hanya membahas soal penggusuran, tetapi juga menanggapi pendapat remaja tersebut mengenai larangan kegiatan perpisahan atau study tour di sekolah.

Baca Juga: Dedi Mulyadi Sebut Calo Tanah Sebagai Faktor Penghambat Pembangunan Pabrik BYD di Subang

Dedi menyatakan keheranannya, karena di tengah banyaknya orang tua yang merasa terbebani dengan biaya study tour, ada siswa yang justru menolak larangan tersebut.

“Banyak rakyat miskin, nggak punya rumah lagi, rumahnya di bantaran kali, tapi sekolahnya gaya-gayaan ada wisuda," sindir Dedi.

Ia kemudian mempertanyakan apakah membangun kenangan sekolah hanya bisa dilakukan melalui acara perpisahan. "Kalau tanpa perpisahan, apa akan kehilangan kenangan? Kenangan itu bukan pada saat perpisahan, kenangan itu tercipta selama proses belajar selama tiga tahun," jelasnya.

Dalam video berdurasi 33 menit tersebut, remaja itu tetap pada pendiriannya. Ia menegaskan bahwa acara perpisahan penting untuk mempererat hubungan antar teman.

“Enggak juga sih, Pak. Saya ngerasa kalau sudah lulus, tanpa ada perpisahan, kita enggak bisa kumpul bareng atau ngerasain interaksi sama teman-teman,” jawabnya.

Dedi kemudian menyoroti cara remaja itu dalam menyampaikan kritik. Menurutnya, kritik seharusnya diarahkan pada kebijakan yang memberatkan rakyat secara ekonomi, bukan pada larangan kegiatan seremonial.

"Harusnya speak up-nya begini, kritik gubernur karena gubernur membebani rakyat, sekolah harus bayar iuran, kritik gubernur karena membiarkan orang tua dibebani untuk pembayaran sekolah, kritik gubernur karena membiarkan banjir, saya senang. Ini kritik gubernur karena gubernurnya melarang perpisahan" tegas Dedi.

Ia juga menekankan bahwa banyak orang tua sampai harus berutang demi membiayai study tour anak-anak mereka, yang justru memperburuk beban ekonomi keluarga.

Respons netizen pun membanjiri kolom komentar YouTube Dedi. Banyak yang menyayangkan sikap remaja tersebut.

"Maluuu lihat murid dan orang tua kaya gini," tulis netizen.

"SIAPA YANG GEMESSSSSSS," timpal netizen.

Beberapa netizen juga membagikan pengalaman pribadi mereka terkait penggusuran saat Dedi menjabat sebagai Bupati Purwakarta. Salah satunya menyatakan bahwa ia menerima keputusan tersebut dengan lapang dada, karena menyadari bahwa dirinya tinggal di tanah negara tanpa izin.

Baca Juga: Mobil Lexusnya Ternyata Nunggak Pajak, Ini Klarifikasi Dedi Mulyadi

"Saya dan keluarga — ayah, ibu, serta adik-adik — pernah tinggal di sebuah tanah negara di daerah Cilodong, yang kami sebut Kebon Jati. Itu sekitar tahun 2006 sampai 2009. Tempatnya sederhana, tapi penuh kenangan buat kami. Waktu itu, setelah KDM menjabat sebagai bupati, keluar aturan bahwa semua bangunan di atas tanah negara harus dibongkar.

Kami sekeluarga menerimanya dengan lapang dada, meski kenyataannya berat. Kami nggak punya rumah sendiri, jadi setelah itu, kami harus hidup berpindah-pindah, ngontrak di sana-sini. Tapi dari awal, kami sadar diri.

Kami tinggal di tanah yang bukan milik kami, tanpa izin, tanpa bayar. Selama bertahun-tahun dibiarkan tinggal di sana saja sebenarnya sudah sebuah keberuntungan besar. Bayangin aja, kalau negara mau menuntut, bisa jauh lebih rumit.

Coba deh pikirin: kalau halaman rumah kamu tiba-tiba dibangun saung atau rumah sama orang asing, terus mereka tinggal seenaknya di situ, apa kamu nggak keberatan? Begitu juga dengan tanah negara." Tulis seorag netizen membagikan pengalamannya.

Dedi sendiri menegaskan bahwa kegiatan perpisahan tetap bisa dilaksanakan secara kreatif tanpa membebani keuangan orang tua.

Ia mendorong agar kegiatan tersebut dikelola oleh OSIS atau organisasi siswa dengan konsep sederhana dan mandiri, seperti mengadakan pertunjukan musik, tari, atau karya sastra di lingkungan sekolah.

 
 
 
View this post on Instagram
 
 
 

A post shared by Presiden Netizen Indonesia (@presiden_netizen_official)

“Siswa bisa mengumpulkan iuran secara wajar di antara mereka sendiri tanpa melibatkan sekolah secara institusional,” ujarnya.

Sebagai pejabat publik, Dedi menegaskan bahwa prioritas utamanya adalah membangun kualitas pendidikan anak-anak Jawa Barat agar dapat bersaing di tingkat nasional maupun internasional.

“Tugas saya adalah membentuk generasi muda Jawa Barat yang tangguh, cerdas, dan mampu bersaing dengan bangsa lain,” tutupnya.

x|close