Perusahaan Lakukan PHK, Pengamat Dorong Kebijakan Protektif bagi Pekerja

NTVNews - Berita Hari Ini, Terbaru dan Viral - 31 Mei 2025, 07:00
thumbnail-author
Tasya Paramitha
Penulis & Editor
Bagikan
Ilustrasi PHK. Ilustrasi PHK. (Pixabay)

Ntvnews.id, Jakarta - Gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) di sektor padat karya kian mengkhawatirkan, terutama menjelang bulan Ramadhan. Salah satu kasus paling mencolok adalah tutupnya pabrik tekstil raksasa PT Sri Rejeki Isman (Sritex) yang memutuskan untuk memberhentikan 10.660 karyawan pada 26 Februari 2025.

Langkah PHK tersebut diambil setelah PT Sritex secara hukum dinyatakan pailit, menyusul keputusan Mahkamah Agung yang menolak kasasi terhadap Putusan Nomor 2/Pdt.Sus-Homologasi/2024/PN Niaga Smg. Selain Sritex, dua perusahaan lain yakni PT Sanken Indonesia dan PT Yamaha Music juga bersiap menutup operasional pabriknya di Indonesia, dengan rencana PHK terhadap ribuan tenaga kerja.

Kementerian Perindustrian mengungkapkan bahwa PT Sanken menghentikan operasional di Indonesia karena keputusan dari perusahaan induknya di Jepang untuk berfokus pada produksi semikonduktor. Sementara itu, PT Yamaha Music mengalami penurunan produksi piano yang membuat mereka memutuskan merelokasi pabrik ke Jepang.

Pengamat Kebijakan Publik Agus Pambagio menilai gelombang PHK ini erat kaitannya dengan situasi ekonomi global maupun domestik. Ia bahkan memprediksi tren ini akan terus berlanjut.

Baca Juga: Porsche dan Volvo PHK Ribuan Karyawan, Ini Penyebabnya

“Jangan heran kalau di bulan-bulan ke depan akan banyak industri padat karya lainnya yang akan melakukan PHK,” ujarnya baru-baru ini.

Industri padat karya sendiri merupakan jenis industri yang bergantung pada tenaga manusia dalam proses produksinya dibandingkan penggunaan mesin. Beberapa sektor yang masuk kategori ini antara lain tekstil, alas kaki, hasil perkebunan seperti tembakau, perikanan dan kelautan, kerajinan, konstruksi, serta sektor pariwisata dan perhotelan, yang kesemuanya menjadi tulang punggung perekonomian nasional.

Menurut Agus, lambannya perkembangan industri dalam negeri disebabkan oleh regulasi yang terlalu ketat dan pungutan liar, terutama dalam proses perizinan.

“Banyaknya pungutan ilegal membuat harga produksi menjadi lebih mahal. Ketika dijual untuk ekspor, produk Indonesia kalah bersaing dan hanya mengandalkan pasar dalam negeri,” jelasnya.

Baca Juga: Ketua DPR Minta Pemerintah Gercep Atasi Lonjakan PHK

Dari perspektif perlindungan tenaga kerja, Pengamat Ketenagakerjaan Timboel Siregar menegaskan bahwa pemerintah memegang peran kunci dalam merespons krisis ini. Ia merujuk pada Pasal 151 UU Cipta Kerja yang menyatakan bahwa pengusaha, pekerja/buruh, serikat pekerja/serikat buruh, dan pemerintah wajib berupaya mencegah terjadinya PHK.

Jika PHK tak terelakkan, prosesnya harus dilakukan secara transparan dan mengikuti mekanisme penyelesaian yang diatur undang-undang.

“Seharusnya pemerintah pusat dan daerah rutin jemput bola ke perusahaan, untuk menanyakan apa yang menjadi hambatan,” ujar Timboel dalam keterangannya, Jumat, 30 Mei 2025.

Ia menilai penting bagi pemerintah untuk menghilangkan hambatan-hambatan, termasuk regulasi-regulasi yang justru mengancam keberlangsungan industri padat karya.

Baca Juga: Menaker Tegaskan Kenaikan Klaim JKP Tak Gambarkan Angka PHK Sebenarnya

Timboel juga menyarankan agar pemerintah lebih aktif memantau kebutuhan investor, sebagai bagian dari strategi mitigasi terhadap potensi PHK. Menurutnya, gelombang PHK berdampak langsung terhadap konsumsi masyarakat, yang saat ini menyumbang 52 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB).

“Kalau ada PHK, masyarakat tidak memiliki uang lagi untuk belanja, dan konsumsi masyarakat menurun. Hal itu juga membuat kontribusi ke investasi berkurang, karena daya beli melemah, karena barang yang diproduksi tidak laku,” tukasnya.

Tak hanya berimplikasi ekonomi, lonjakan pengangguran juga meningkatkan potensi kerawanan sosial, termasuk kriminalitas. Timboel menegaskan bahwa Indonesia harus belajar dari pengalaman negara lain.

“Tingkat pengangguran terbuka menjadi isu yang sangat sensitif, itu adalah warning bagi perekonomian di sana,” pungkasnya, merujuk pada pengalaman Amerika Serikat dalam menangani isu PHK secara serius.

x|close