Ntvnews.id, Jakarta - Jakarta telah menjadi panggung global kopi melalui World of Coffee 2025. Lebih dari 300 peserta dari 20 negara—barista, roaster, petani, penyedia mesin—berbagi inovasi farm to cup dan merampungkan rangkaian kompetisi serta lokakarya berskala internasional.
Gelaran ini bukan sekadar panggung bagi espresso istimewa; ia menandai bahwa Indonesia dipandang dunia sebagai laboratorium cita rasa kopi kelas dunia.
Namun, di balik rintik mesin sangrai dan derap langkah barista, tercium aroma yang lebih kuno: rempah rempah Nusantara. Cengkih dari Maluku, pala Banda, lada Lampung, kapur barus Sumatra, dan cendana Nusa Tenggara telah membuka “jendela dunia” jauh sebelum biji kopi setapak pun ditanam.
Kini, bersamaan dengan momentum kesuksesan World of Coffee, sudah saatnya meluncurkan World of Spice Expo—memosisikan Indonesia bukan sekadar Spice Islands dalam buku sejarah, melainkan Mother of Spices, pusat rasa dunia abad 21, dan aktor utama dalam diplomasi budaya internasional.
Panggung World of Coffee membuktikan tiga hal: pertama, infrastruktur kita siap menampung forum cita rasa internasional. Kedua, talenta lokal—barista, roaster, petani—mampu bersaing dan belajar langsung dengan maestro kopi dari luar negeri. Ketiga, jejaring yang terbentuk menghubungkan petani kopi di Aceh, Toraja, dan Flores dengan buyer dari Jepang, Eropa, maupun Timur Tengah.
Jika kopi mampu menciptakan sinergi ekonomi, pendidikan, dan pertukaran budaya, rempah Nusantara—yang lahir begitu jauh lebih dulu—patut mendapatkan forum setara.
Sejarah Rempah Nusantara: Warisan yang Tak Tertandingi
Jauh sebelum kolonialisme, Nusantara menjadi pemain penting perdagangan dunia. Sejak milenium pertama Masehi, rempah-rempah meneguhkan peradaban Nusantara yang kokoh. Pada 131 M, Raja Jawa (Yediao) menghadiahkan rempah kepada Kaisar Yongjian, menandai awal diplomasi rempah.
Mohamad Atqa (Pamong Budaya Ahli Muda, Kementerian Kebudayaan) (Dokumentasi Kemenbud)
Catatan Zhufanzhi (960–1279) menegaskan Jawa sebagai pusat lada, di mana pedagang Tiongkok menukar emas dan sutra demi keuntungan berlipat (Wuryandari, 2018). Dalam Kitāb Akhbār Alshin wa Alhind (916 M), jalur perdagangan rempah menembus Samudra Hindia hingga Laut Merah, menghubungkan Barus dan Sīrāf (Zulyeno, 2023).
Menjawab warisan ini, pemerintah menjadikan Jalur Rempah prioritas Rencana Pembangunan Jangka Menengah 2020–2024 sesuai Perpres Nomor 8 Tahun 2020.
Melalui Program Muhibah Budaya Rempah, setidaknya 168 komunitas, 17 pemerintah daerah, kementerian, universitas, dan industri bergandeng tangan, dengan kegiatan pelayaran KRI Dewaruci menelusuri rute kuno rempah, ritual adat, pertunjukan seni, lokakarya seni, pameran, kuliner, hingga pasar rempah.
Kini, rempah Nusantara resmi tercatat di Tentative List UNESCO sebagai The Land Below the Wind: Spice Trade Route on XIII–XVIII AD.
Potensi Rempah di Era Modern
Rempah rempah Nusantara bukan hanya warisan sejarah, melainkan aset strategis untuk ekonomi masa depan.
Pala Halmahera, misalnya, menonjol berkat kadar myristicin tertinggi di dunia—senyawa berkhasiat antidepresan—dengan harga pasaran dunia mencapai Rp 100 juta per kilogram, melampaui nilai emas (Wairata, 2024). Begitu pula minyak nilam Aceh menyumbang 90 persen pasokan global patchouli alcohol, menjadikannya andalan industri parfum kelas dunia.
Tragisnya, negeri ini hanya mengirim produk mentah, sementara nilai tambah dan keuntungan besar menciptakan lapangan kerja serta industri pengolahan justru berkembang di luar negeri.
Dari segi keanekaragaman hayati, Indonesia mendominasi genetik rempah utama—Myristica, Syzygium, Piper, Dryobalanops, Styrax, dan Santalum—yang tumbuh subur di iklim tropis.
Senyawa aktif di antaranya eugenol, piperine, dan santalol menyimpan peluang besar dalam farmasi, kosmetik, dan gastronomi molekuler.
Visi World of Spice Expo
World of Spice Expo hadir sebagai panggung global yang merayakan keunggulan rempah Nusantara dalam suasana lintas disiplin.
Petani, chef internasional, akademisi, peneliti, hingga perwakilan komunitas budaya akan berkumpul untuk mendemonstrasikan inovasi olahan rempah, mulai dari ekstrak nutraceutical hingga kreasi kuliner molekuler seperti latte kayu manis Flores dan es krim cold brew pala Banda.
Kajian dan seminar tentang agroforestry dan fitokimia yang akan menggarisbawahi praktik pertanian berkelanjutan, sementara tur ekowisata ke desa‐desa rempah menawarkan pengalaman autentik: menyaksikan penyadapan kemenyan di Tapanuli atau panen cengkih di Ternate.
Expo ini juga memperkuat diplomasi budaya dengan menjalin kerja sama riset, pameran kolaboratif, dan residensi seniman bersama India, Tiongkok, Persia, negara-negara Arab, dan mitra Eropa yang memiliki ketersambungan budaya rempah (sebagai revitalisasi hubungan historis).
Perlu dinyalakan kembali ingatan hubungan antarbangsa yang sejak ribuan tahun lalu telah dirajut melalui kehangatan persahabatan, asimilasi pengetahuan, budaya dan peradaban, serta diplomasi di setiap pelabuhan jalur perniagaan rempah.
World of Spice Expo menjadi bukan sekadar ajang pamer, melainkan tonggak penguatan ekonomi dan kebudayaan Indonesia jangka panjang, bergantung pada sinergi kebijakan dan infrastruktur riset.
Kurikulum vokasi agroindustri rempah digarap bersama kementerian terkait, sementara laboratorium rasa berteknologi dibangun di Maluku, Sulawesi, dan Sumatra untuk memetakan profil aroma rempah.
Sistem Informasi Geografis (GIS) membantu memastikan bahwa proses distribusi rempah dapat ditelusuri dengan akurat dan efisien, serta membuka peluang untuk menerapkan sistem sertifikasi, pengawasan mutu, dan pelabelan geografis yang lebih terpercaya di pasar global.
Pemberdayaan petani diwujudkan lewat program peremajaan kebun, kultur jaringan bibit unggul, dan penerapan pertanian presisi—dari sensor kelembapan tanah hingga drone pemantau—dengan pendampingan sertifikasi organik dan fair trade.
Kampanye multilingual di London, Dubai, dan New York—didukung KBRI—akan menempatkan rempah Nusantara pada panggung global yang pantas.
Menulis Bab Baru dalam Diplomasi Rasa
Sudah saatnya rempah dan kopi Nusantara berdiri sebagai dua wujud warisan: kearifan agraris leluhur dan dinamika inovasi modern.
Jika kopi telah menjadikan Indonesia laboratorium rasa dunia, maka rempah harus diposisikan sebagai Mother of Spices, memimpin diplomasi budaya dan ekonomi abad 21.
Setiap aroma pala dan gigitan kue kayu manis menyiratkan simfoni sejarah yang terus bergema, meneguhkan Nusantara di peta rasa global.
Penulis: Mohamad Atqa
Pamong Budaya Ahli Muda, Kementerian Kebudayaan.