Ntvnews.id, Surabaya - Dalam era di mana kepercayaan publik terhadap media, pemerintah, dan bahkan antarindividu kian tergerus, Suara Surabaya (SS) justru bertahan sebagai ruang dengar yang tak hanya hidup, tetapi menjadi pusat gravitasi rasa percaya publik.
Di tengah algoritma digital yang membentuk gelembung opini dan iklan yang mengepung kesadaran, SS menawarkan sesuatu yang makin langka: kedekatan manusiawi.
Namun bertahan saja tidak cukup. SS harus tumbuh dengan sadar, menata ulang identitasnya dari media siar menjadi media sadar.
Gagasan ini saya rumuskan dalam kerangka: Trust-Based Affiliate Ecosystem, sebuah sistem di mana kepercayaan menjadi mata uang utama, dan warga menjadi bagian aktif dalam membentuk nilai bersama.
Di era kapitalisme digital, reach dan engagement telah lama menjadi patokan utama keberhasilan. Namun kita melihat sekarang, influencer bisa dibeli, trending bisa dimanipulasi dan followers bisa disewa. Yang tidak bisa dibeli adalah kepercayaan.
SS dibangun bukan dari iklan yang viral, tetapi dari ritual sosial keseharian: seseorang menelepon karena lubang jalan, seseorang melapor karena kehilangan anak, dan semua didengar oleh puluhan ribu orang — bukan untuk dikomentari, tapi untuk dibantu.
Dalam riset Edelman Trust Barometer 2024, disebutkan bahwa:
“Trust is the ultimate currency in the relationship between society and its institutions. In low-trust environments, institutions fail regardless of their competence.”
SS bukan hanya dipercaya karena kompeten. SS dipercaya karena selalu hadir. Bukan menjawab semua hal, tapi menjadi jembatan rasa antarwarga. Inilah modal awal yang mungkin tak dimiliki media nasional sekalipun.
Dari Media Penyiaran ke Infrastruktur Sosial
Suara Surabaya sebagai Trust-Based Affiliate Ecosystem. (Suara Surabaya)
Dalam paradigma media pers konvensional, fungsi utama lembaga penyiaran didefinisikan secara tegas: sebagai pemberi informasi (informing), penjaga moral publik (gatekeeping), dan perekam peristiwa sejarah (archiving). Posisi ini menempatkan media pada poros vertikal—berjarak, berwenang, dan sering kali satu arah dalam mengelola narasi. Namun, dalam pengalaman khas Suara Surabaya (SS), peran itu telah bergeser secara radikal sejak lebih dari empat dekade lalu.
SS telah menempuh jalur alternatif yang tidak sekadar menyampaikan informasi, tetapi memfasilitasi partisipasi (participating), memobilisasi solidaritas sosial (mobilizing), dan membentuk memori kolektif warga kota secara harian (narrativizing). Ia bukan sekadar menjadi media, melainkan infrastruktur sosial informal—penopang kesadaran bersama dalam ritme kota yang terus berubah.
Dengan ratusan ribu data interaksi warga setiap tahunnya—dari telepon masuk, pesan WhatsApp, komentar di media sosial hingga laporan langsung di lapangan—SS menyimpan tambang emas insight lokal yang otentik. Ini bukan data yang dikumpulkan melalui survei yang bisa direkayasa, melainkan lahir dari rasa percaya yang organik dan bertumbuh dari pengalaman nyata.
Sebagaimana dikemukakan oleh sosiolog Niklas Luhmann, “Kepercayaan adalah mekanisme pengurangan kompleksitas.”
Ketika masyarakat percaya pada suatu institusi, mereka menyerahkan sebagian dari kecemasan dan ketidakpastian hidupnya kepada sistem itu. Karena tahu bahwa suara mereka akan dikelola secara etis dan bermakna. Inilah posisi SS di mata warganya: media yang dipercaya karena mendengarkan, bukan sekadar berbicara.
Dari Influencer ke Kepercayaan Afiliasi
Selama lebih dari satu dekade terakhir, lanskap digital dikuasai oleh apa yang disebut sebagai “logika influencer”. Di mana kekuatan pengaruh ditentukan oleh siapa yang paling sering tampil di layar. Namun semakin hari, publik semakin menyadari bahwa kehadiran digital tidak selalu paralel dengan integritas. Influencer mulai dilihat sebagai produk algoritma dan endorsement, bukan representasi nilai otentik.
Rachel Botsman dalam bukunya Who Can You Trust? menyebut bahwa kini kita tengah memasuki era baru yang disebutnya sebagai “distributed trust” — yaitu bentuk kepercayaan yang tumbuh bukan dari institusi pusat atau figur otoritatif, tetapi dari hubungan horizontal antar individu. Dalam pandangannya: “Trust is no longer top-down. It’s now peer-to-peer.”
Dan di sinilah Suara Surabaya sebenarnya telah berjalan lebih dulu, bahkan sebelum teori itu dimunculkan. Laporan warga di SS adalah bentuk testimoni sosial. Tanggapan dari warga lain adalah bentuk validasi sejawat. Dan intervensi konkret: jalan yang diperbaiki, kebakaran yang ditangani, bantuan yang dikirim—adalah wujud kepercayaan yang termanifestasi dalam tindakan. SS, secara alami, telah menjalankan sistem kepercayaan terdistribusi berbasis empati kota.
Membangun Trust-Based Affiliate Ecosystem
Dalam semangat itulah, saya meyakini bahwa SS sangat layak dikembangkan sebagai sebuah Trust-Based Affiliate Ecosystem. Namun bukan dalam pengertian e-commerce, seperti program afiliasi produk komersial yang biasa kita kenal.
Yang saya maksud di sini adalah ekosistem sosial partisipatif, di mana warga tidak sekadar menjadi konsumen informasi, tetapi bagian dari sistem sosial berbasis insight. Mereka tidak hanya mendengar, tetapi juga mendefinisikan suara kota. Mereka bukan target audiens, melainkan co-creator dari nilai-nilai masyarakat urban.
Ekosistem ini tidak dibangun dengan logika click-through atau cost per engagement, tetapi melalui tiga fondasi utama:
1. Data berbasis partisipasi, bukan hanya statistik yang diambil dari luar.
2. Narasi berbasis dampak, bukan sekadar impresi atau viralitas.
3. Distribusi berbasis relasi kepercayaan, bukan manipulasi algoritma.
“Barang Jadinya” Bukan Produk, Tapi Sistem Sosial
Jika konsep ini diimplementasikan secara menyeluruh, kita bisa membayangkan sejumlah platform turunan yang memperkuat peran SS sebagai infrastruktur sosial:
1. Live Social Sentiment Dashboard, yakni peta real-time tentang emosi, keluhan, dan aspirasi masyarakat berdasarkan data terintegrasi dari panggilan, pesan, media sosial, dan hasil crawling AI. Ini bukan sekadar visualisasi, tetapi juga bisa menjadi sistem pendeteksi krisis sosial atau gejala kegelisahan kolektif warga.
2. Laporan Naratif Dampak Warga, yakni kumpulan cerita nyata di mana partisipasi publik melalui SS menghasilkan perubahan. Misalnya, cerita tentang jembatan rusak yang akhirnya diperbaiki, penanganan korban kecelakaan yang cepat karena laporan warga, atau komunitas yang terbentuk karena solidaritas dari panggilan siaran.
3. AI-Based Civic Engagement Tools, seperti chatbot partisipatif, sistem polling warga, dan dashboard insight untuk pemerintah daerah atau CSR. Ini akan menjadi interface digital bagi pemerintah dan dunia usaha untuk membaca denyut kota dengan lebih jujur dan tajam.
Semua elemen ini dapat diperluas ke berbagai sektor: dari pasar, transportasi, pendidikan, hingga kesehatan masyarakat. Sistem ini juga membuka potensi monetisasi dan keberlanjutan ekonomi yang sehat, karena nilai jualnya bukan pada klik, tapi pada kepercayaan dan manfaat sosial.
Suara Surabaya telah menunjukkan bahwa media tidak harus kehilangan arah di era digital. Justru, dengan keberanian untuk kembali ke akar kepercayaan, media bisa menjadi sesuatu yang lebih: infrastruktur rasa, ekosistem solusi, dan penjaga batin kota. Dan di tengah dunia yang makin gaduh dan serba tak pasti, bisa jadi, itulah peran paling relevan yang bisa kita perjuangkan bersama.
Media Baru & Masyarakat Baru: Menuju Ekosistem Kesadaran Sosial
Jika seluruh sistem Trust-Based Affiliate Ecosystem diterapkan secara utuh, maka Suara Surabaya (SS) bukan lagi sekadar media yang mengudara, melainkan menjelma menjadi entitas sosial baru: sebuah “Radar Sosial Kota” yang mendengarkan denyut masyarakat secara real-time dan mendistribusikannya dalam bentuk insight kolektif yang bermakna. SS akan menjadi titik simpul dari simpang siur suara warga, bukan untuk didiamkan, tapi untuk diterjemahkan menjadi tindakan.
Dalam transformasi ini, SS bukan lagi hanya pelapor, tapi penyambung antarrealitas: antara keresahan warga dan respons kebijakan, antara suara minor dan ruang diskusi publik, antara fakta lapangan dan kepekaan institusi. Fungsi penyiaran klasik bergeser ke fungsi mediasi partisipatif, di mana kebenaran tidak hanya dicari, tetapi dirasakan dan dikonfirmasi bersama.
SS juga akan tumbuh menjadi Katalisator Solusi. Data yang terkumpul setiap hari, dari telepon masuk, pesan WhatsApp, komentar media sosial, hingga hasil crawling sosial AI, bukan dibiarkan jadi deretan angka atau arsip statis. Ia diolah menjadi "pattern of needs", menjadi peta kebutuhan kota yang terus hidup.
Lembaga-lembaga pemerintah, bisnis, dan masyarakat sipil dapat merujuk pada peta ini untuk menentukan prioritas intervensi. Dan bukan tidak mungkin, pemecahan masalah perkotaan akan lebih efisien ketika dimulai dari rasa, bukan hanya angka.
Dalam skema ini pula, SS secara perlahan akan membentuk apa yang dapat disebut sebagai “Marketplace of Empathy.” Sebuah ruang terbuka di mana informasi bukan dikomodifikasi untuk dijual ke pengiklan, tetapi dihadirkan untuk memicu rasa peduli. Marketplace ini bukan transaksi produk, melainkan pertukaran rasa, pengalaman, dan panggilan aksi. Semua didasarkan pada empati, bukan impresi.
Namun transformasi media semacam ini tak mungkin berdiri sendiri. Ia harus dibarengi dengan tumbuhnya bentuk masyarakat yang baru pula. Masyarakat yang tidak sekadar menjadi konsumen informasi, tetapi terlibat sebagai Civic Affiliate — warga yang menyadari bahwa mereka adalah bagian dari sistem insight sosial. Mereka bukan “objek liputan”, tetapi subjek pemakna; bukan hanya pelapor masalah, tapi juga penentu arah solusi.
Keikutsertaan warga dalam sistem ini juga mendorong lahirnya bentuk partisipasi yang otonom dan sadar. Mereka tahu bahwa setiap suara mereka direkam, tidak untuk dijual atau dimanipulasi, tetapi untuk dijadikan landasan intervensi nyata. Inilah bentuk partisipasi baru yang tak digerakkan oleh kampanye atau insentif, tetapi oleh rasa memiliki terhadap kota dan komunitasnya.
Pada akhirnya, masyarakat yang tumbuh bersama sistem ini akan menjadi warga yang data-conscious. Tidak dalam arti paranoid terhadap data pribadi, tetapi sadar bahwa datanya punya daya. Mereka akan memahami bahwa data yang mereka sumbangkan adalah bagian dari kebaikan bersama, dari "collective intelligence" yang memperbaiki kehidupan kota secara berkelanjutan.
Transformasi ini, jika berhasil dijalankan, akan membentuk tatanan sosial baru di mana media, data, dan warga saling terhubung dalam simpul yang sehat dan etis. SS akan menjadi jantung dari sistem itu : menjaga denyut kota, mengolah napas warga, dan menjaga irama perubahan.
Sebuah media yang bukan sekadar hidup, tapi menghidupkan.
Sebuah masyarakat yang bukan sekadar tahu, tapi juga peduli dan bertindak.
Suara Surabaya telah menempuh jalan sunyi. Menjadi media yang tidak mengejar algoritma, tapi mengikuti suara manusia. Kini saatnya SS melangkah ke fase baru:
"Menjadi ekosistem afiliasi kepercayaan yang tak hanya mendengar, tapi juga menstrukturkan kekuatan sosial menjadi kekuatan perubahan. Inilah warisan paling bernilai untuk masa depan media, dan masa depan kota yang lebih sadar."
Penulis: Eddy Prastyo (Editor in Chief Suara Surabaya Media "Tempat Rasa Bertemu Data”)