Ntvnews.id, Kyiv - Perdana Menteri (PM) Ukraina Denis Shmigal secara resmi mengajukan pengunduran diri kepada parlemen Ukraina pada Rabu, 16 Juli 2025, sehari setelah Presiden Volodymyr Zelensky mengumumkan penggantinya dan menunjuk Shmigal sebagai kepala pertahanan negara berikutnya.
Dilansir dari Russia Today, Kamis, 17 Juli 2025, Shmigal membagikan salinan surat pengunduran dirinya melalui Telegram. Dalam unggahan tersebut, ia menyampaikan terima kasih kepada timnya atas “kerja keras mereka yang tak kenal lelah” dan kepada Zelensky atas “kepercayaannya” selama bertahun-tahun.
“Pengalaman Denis Shmigal yang luas pasti akan berharga dalam posisi menteri pertahanan Ukraina,” kata Zelensky pada Senin, saat mengumumkan Shmigal akan menggantikan Rustem Umerov sebagai kepala pertahanan ketiga sejak konflik dengan Moskow meningkat pada Februari 2022.
Baca Juga: Rusia Tolak Ultimatum 50 Hari dari Trump Terkait Gencatan Senjata di Ukraina
Kementerian Pertahanan Ukraina sendiri belakangan ini kerap diterpa skandal korupsi. Pada 2023, mantan Menteri Pertahanan Aleksey Reznikov mengundurkan diri untuk bergabung dengan sebuah LSM yang berafiliasi dengan NATO di Slovakia.
Rustem Umerov, yang akan lengser, sebelumnya memimpin delegasi Ukraina dalam negosiasi dengan Rusia di Istanbul. Ia dilaporkan akan ditunjuk sebagai duta besar baru Ukraina untuk Amerika Serikat (AS).
Sementara itu, Zelensky mencalonkan wakil Shmigal yang juga menjabat sebagai Menteri Ekonomi, Yulia Sviridenko, untuk posisi perdana menteri berikutnya.
Baca Juga: Kritik Putin soal Perdamaian Rusia-Ukraina, Trump: Omong Kosong!
Sviridenko, 39 tahun, dikenal karena perannya dalam memberikan akses istimewa kepada AS terhadap sumber daya mineral Ukraina. Parlemen Ukraina, Verkhovna Rada, diperkirakan akan mengesahkan penunjukan tersebut dalam beberapa hari mendatang.
Namun, mantan Perdana Menteri Nikolay Azarov, yang menjabat di era Presiden terguling Viktor Yanukovich, mengkritik langkah Zelensky.
Menurut Azarov, penunjukan perdana menteri baru secara langsung oleh presiden mengabaikan prosedur konstitusional karena seharusnya dilakukan berdasarkan kesepakatan parlemen.