Ntvnews.id, Jakarta - Rencana Pemerintah Provinsi DKI Jakarta menyusun Rancangan Peraturan Daerah Kawasan Tanpa Rokok (Raperda KTR) memicu penolakan dari pelaku usaha ritel dan UMKM. Di tengah upaya pemulihan ekonomi nasional, kebijakan tersebut dinilai berpotensi menekan daya beli masyarakat serta mengganggu ekosistem usaha, mulai dari ritel modern hingga pedagang kecil.
Himpunan Peritel dan Penyewa Pusat Perbelanjaan Indonesia (HIPPINDO) menjadi salah satu pihak yang menyuarakan keberatan, khususnya terkait pengaturan zonasi larangan penjualan produk hasil tembakau. Ketua Umum HIPPINDO, Budihardjo Iduansjah, menilai penerapan sistem radius di wilayah Jakarta berisiko menimbulkan persoalan serius di lapangan.
Ia menyoroti kompleksitas tata kota Jakarta yang memiliki banyak pusat aktivitas masyarakat dalam satu kawasan, mulai dari pusat perbelanjaan, tempat ibadah, hingga sarana pendidikan. Dengan kondisi tersebut, penerapan aturan radius secara kaku dikhawatirkan justru membuat hampir seluruh pusat perbelanjaan di Jakarta terdampak larangan penjualan rokok.
"Kalau kawasan tanpa rokok itu harus diperjelas secara detail. Kalau radius nggak bisa karena penjualan rokok masih merupakan tulang punggung daripada sektor retail dan sektor produsen. Dan itu harus memperhatikan tenaga kerja dan lain sebagainya," ujar Budihardjo dalam keterangannya, Kamis, 18 Desember 2025.
Baca Juga: Satpol PP DKI Jakarta Siagakan Personel Jelang Natal dan Tahun Baru
Meski dalam pembahasan terbaru disebutkan bahwa kebijakan zonasi larangan penjualan rokok akan dihapus dari Raperda KTR, HIPPINDO tetap memandang potensi kerugian ekonomi masih sangat besar. Pembatasan ekstrem terhadap penjualan produk tembakau dinilai dapat memicu penurunan omzet secara luas di sektor ritel.
"Ya penurunan omzet itu, penjualan kami itu hampir Rp20 triliun setahun itu bisa ada terjadi penurunan secara ekosistem dari retail. Kerugian puluhan triliun itu dari distributor, peritel sampai supplier terkena dampaknya," ungkap Budihardjo.
Kekhawatiran serupa juga dirasakan pelaku UMKM yang saat ini tengah menghadapi tekanan berat. Indikator peningkatan daya beli masyarakat menjelang Natal dan Tahun Baru (Nataru) dinilai belum menunjukkan perbaikan signifikan. Kondisi tersebut diperparah oleh persaingan yang tidak seimbang akibat ekspansi ritel jaringan nasional hingga ke wilayah pelosok.
Wakil Ketua Umum Asosiasi Koperasi dan Ritel Indonesia (AKRINDO), Anang Zunaedi, mengatakan produk tembakau memiliki peran penting dalam menjaga arus kas UMKM. Perputaran uang dari penjualan rokok yang relatif cepat kerap dimanfaatkan pedagang kecil untuk menutup biaya operasional harian maupun mensubsidi produk lain yang pergerakannya lebih lambat.
Baca Juga: Pemprov DKI Sabet Peringkat Pertama Penghargaan Penggunaan Produk Dalam Negeri
"Terkait zonasi dan KTR tentu berdampak karena rokok menjadi kategori produk fast moving di peritel Koperasi UMKM. Apalagi di peritel tingkat mikro yang bergantung di produk rokok maka ini sangat memberatkan," papar Anang.
Ia berharap pemerintah daerah dapat lebih cermat dan bijaksana dalam merumuskan pasal-pasal Raperda KTR. Menurutnya, upaya pengendalian konsumsi produk tembakau seharusnya tidak dilakukan dengan cara yang mengorbankan keberlangsungan usaha pedagang kecil.
"Mestinya pemerintah berupaya mengedukasi masyarakat tentang rokok tanpa harus mematikan usaha pedagangnya,” tutup Anang.
Warga bermain bersama anaknya di samping papan informasi larangan merokok di Taman Suropati, Jakarta, Rabu, 30 Juli 2025. Pemprov DKI Jakarta akan mengesahkan Rancangan Peraturan Daerah (Ranperda) Kawasan Tanpa Rokok (KTR) yang akan mengatur pelarang (Antara)