Menilik RSF yang Lakukan Genosida di Sudan

NTVNews - Berita Hari Ini, Terbaru dan Viral - 30 Okt 2025, 07:05
thumbnail-author
Deddy Setiawan
Penulis
thumbnail-author
Beno Junianto
Editor
Bagikan
Ilustrasi mayat. Ilustrasi mayat. (Antara)

Ntvnews.id, Khartoum - Laporan mengenai pembantaian massal di El-Fasher, Darfur, kembali menyoroti kekejaman yang dilakukan oleh kelompok paramiliter Rapid Support Forces (RSF) — salah satu pasukan paling kontroversial di Sudan.

Setelah berhasil merebut kendali kota tersebut pada akhir pekan lalu, RSF dituduh mengeksekusi lebih dari 2.000 warga sipil tak bersenjata.

Video yang beredar di media sosial memperlihatkan para anggota RSF menembak warga tanpa perlawanan, sementara citra satelit menunjukkan adanya parit-parit berisi jenazah dan bekas darah di jalan-jalan kota.

Insiden ini terjadi di tengah berkecamuknya perang saudara yang berlangsung sejak April 2023 antara RSF dan militer Sudan (SAF). Konflik tersebut dipicu oleh perebutan kekuasaan di tingkat tertinggi pemerintahan.

Pertarungan dua kekuatan bersenjata ini telah menelan lebih dari 150.000 korban jiwa dan memaksa lebih dari 14 juta orang meninggalkan rumah mereka.

Baca Juga: Presiden Brasil Lula Kecam PBB dan Sindir Trump Soal Genosida di Gaza

Darfur menjadi wilayah yang paling parah terdampak, dengan RSF diduga menggunakan taktik pengepungan dan melakukan pembersihan etnis terhadap komunitas non-Arab.

Lantas, siapa sebenarnya RSF dan bagaimana kelompok ini tumbuh menjadi kekuatan utama dalam konflik paling mematikan di Sudan? Berikut penjelasan lengkapnya.

Asal Usul dan Perkembangan RSF

Rapid Support Forces (RSF) merupakan kelanjutan dari milisi Janjaweed, yang dibentuk oleh pemerintah Sudan pada awal 2000-an sebagai respons terhadap pemberontakan di wilayah Darfur.

Kelompok ini merekrut pemuda dari komunitas Arab nomaden di Chad timur dan Darfur barat, dengan dukungan dari pemerintah Sudan dan pihak eksternal seperti Libya.

Sejak 2003, Janjaweed dikenal karena taktik brutalnya, termasuk pembakaran desa, pemerkosaan, serta pembunuhan massal terhadap kelompok non-Arab seperti Fur dan Zaghawa.

Baca juga: Massa Demo di Depan Markas PBB Kecam Genosida Israel

Pada 2013, Presiden Omar al-Bashir meresmikan pembentukan RSF sebagai pasukan legal dan menunjuk Mohamed Hamdan Dagalo, alias “Hemedti”, sebagai komandan utamanya.

Awalnya RSF berada di bawah Dinas Intelijen dan Keamanan Nasional, namun kemudian dilegalkan melalui undang-undang 2017 yang menempatkannya dalam struktur militer nasional dengan otonomi luas.

Selain beroperasi di dalam negeri, RSF juga terlibat dalam berbagai operasi militer di luar negeri seperti di Yaman dan Libya, memperluas pengaruh serta pendanaan kelompok tersebut.

Ambisi Politik dan Peran RSF dalam Konflik Sudan

Pasca kudeta yang menggulingkan Omar al-Bashir pada April 2019, RSF menjadi pemain penting dalam pembentukan Dewan Militer Transisi.

Hemedti menduduki posisi wakil kepala dewan dan kemudian menjadi wakil ketua Dewan Kedaulatan yang memimpin masa transisi negara.

Dengan jabatan tersebut, ia membangun jaringan diplomatik dengan negara-negara seperti Uni Emirat Arab dan Arab Saudi serta memperkuat ekonomi keluarganya melalui perusahaan tambang emas Al Junaid.

Ketegangan antara Hemedti dan Jenderal Abdel Fattah al-Burhan kemudian memuncak pada 15 April 2023, ketika perbedaan pandangan mengenai integrasi RSF ke dalam militer nasional berujung pada pecahnya perang saudara.

Pada tahun 2025, RSF mengumumkan pembentukan “Pemerintahan Perdamaian dan Persatuan,” langkah yang dianggap sebagai upaya untuk menguasai distribusi bantuan dan mencari legitimasi internasional namun banyak pihak menilai langkah ini justru menghambat proses perdamaian di Sudan.

x|close