Berkaca dari pengalaman tersebut, kata Ajib, kalau pemerintah mau membangun konsideran berpikir bahwa sekarang daya beli masyarakat sedang menurun, sekarang deflasi sedang terjadi, sekarang pertumbuhan ekonomi juga sedang mengalami slow down dan lain-lain.
"Itu sebenarnya bisa artinya narasi yang dibangun oleh Bu Menteri Keuangan yang pertama terbantahkan," tandasnya.
"Sekarang kedua, berbicara masalah kebutuhan budgeter. Kalau hitung-hitungan kita memang dengan pemerintah hanya cukup menaikkan 1% PBN dari dari 11 menjadi 12% maka pemerintah bisa potensi menambah kira-kira di angka 80 triliun sama 100 triliun. Asumsinya karena pada tahun 2023 kemarin pemerintah itu penerimaan PPN dan PPN BM diangkat sekitar Rp760 triliun Asumsinya dengan pertumbahan ekonomi dikisaran 5% dan inflasi 2% maka potensinya kira-kira akan nambah 80 triliun," tambahnya.
Menurut Ajib, sebenarnya pemerintah bisa melakukan jalan lain kalau untuk menambal kekurangan negara karena memang faktanya APBN 2025.
"Sangat luar biasa sempit ruangnya. Kita bisa bayangkan dengan 3.600 triliun belanja negara itu potensi penerimaan negara itu hanya 2.100 triliun pajak sekitar 400-an triliun, cukai dan 500-an triliun dari PNBP atau penerima negara bukan pajak. Artinya dengan 3.000 triliun uang terkumpul pun 600 triliun juga masih hutang dunia usaha memahami itu. Tapi sebenarnya kalau Bu Menteri Keuangan itu bisa kreatif itu sebenarnya bisa ditambal dari potensi penerimaan yang lain dan banyak opsi yang sudah kita berikan kepada pemerintah," paparnya.
Hal itu yang menjadi dasar bagi Apindo mendorong agar pemerintah menunda kenaikan tarif PPN sampai daya beli masyarakat sudah kembali membaik.
Ajib menambahkan jika pemerintah memaksakan untuk memberlakukan kenaikan PPN menjadi 12% pada awal tahun depan, bukan hanya pengusaha yang terdampak tetapi masyarakat juga bakal terbebani.