Selain itu, penting memastikan bahwa BUMN yang akan bergabung dengan Danantara tidak menghadapi kendala dalam proses integrasi. “Perlu ada ketegasan mengenai BUMN mana yang masuk dalam pengelolaan Danantara dan mana yang tetap berada di bawah Kementerian BUMN,” tambahnya.
Dalam hal struktur kelembagaan, Yuli mengingatkan bahwa kewenangan Presiden Prabowo dalam menunjuk langsung Dewan Pengawas bisa menimbulkan pro-kontra.
“Meski langkah ini dapat menyaring kepentingan yang berpotensi merugikan Danantara, di sisi lain, harus dipastikan agar tidak mengakomodasi kepentingan politik tertentu,” katanya.
Profesionalisme dalam Pengelolaan
Untuk Badan Pelaksana, Yuli menekankan pentingnya memilih individu-individu profesional yang memiliki pemahaman mendalam tentang investasi dan pengelolaan korporasi. Sebab, Danantara akan terbentuk menjadi dua holding besar.
Pertama, holding investasi, yang mengelola dividen dan aset BUMN serta tugas lain yang ditetapkan oleh Menteri BUMN. Kedua, holding operasional, yang bertanggung jawab atas pengawasan dan pengelolaan kegiatan usaha BUMN.
“Kriteria pemilihan harus jelas dan transparan agar mencerminkan meritokrasi yang dapat dipertanggungjawabkan,” ujar Yuli. Ia merekomendasikan agar proses seleksi direksi Danantara meniru standar ketat seperti fit & proper test di sektor perbankan.
Yuli menekankan bahwa beberapa regulasi harus segera diamandemen agar Danantara dapat beroperasi secara optimal, yakni antara lain UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, UU BUMN, serta UU Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (PT) menjadi prioritas utama.
Saat ini, Pasal 2 UU 17/2003 mengatur bahwa kekayaan negara yang dipisahkan dikelola oleh BUMN. Dampaknya, BUMN harus tunduk pada berbagai regulasi keuangan negara. “Tanpa revisi UU Keuangan Negara, Danantara sulit bergerak fleksibel dalam menjalankan aksi korporasi dan meningkatkan daya saingnya,” jelasnya.