Ntvnews.id, Jakarta - Federasi Serikat Pekerja Rokok Tembakau Makanan Minuman Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (FSP RTMM-SPSI) menyampaikan harapan kepada pemerintahan Presiden Prabowo Subianto untuk memberi perhatian khusus terhadap perlindungan para pekerja di industri padat karya.
Seruan ini disampaikan sebagai bentuk upaya memperkuat daya tahan ekonomi nasional di tengah ketidakpastian global, termasuk dampak dari perang dagang yang berlangsung.
Ketua Umum FSP RTMM-SPSI, Sudarto AS, menegaskan pentingnya kesetaraan antara pekerja dan pengusaha dalam mendapatkan perlindungan hukum, mengacu pada prinsip Hubungan Industrial Pancasila. Menurutnya, kedua elemen ini saling melengkapi dalam menopang perekonomian nasional.
“Pekerja dan pengusaha memiliki posisi yang sama dalam mendapatkan perlindungan dan pembelaan,” ujar Sudarto dalam keterangannya, Selasa, 29 April 2025.
Ia menggambarkan hubungan keduanya seperti “dua sisi mata uang yang bernilai dalam pembangunan nasional.”
Aspirasi ini sebelumnya juga telah disampaikan langsung dalam acara Silaturahmi Ekonomi Nasional yang turut dihadiri Presiden Prabowo.
Sudarto menekankan peran strategis Industri Hasil Tembakau (IHT) sebagai salah satu sektor padat karya yang mampu menyerap ratusan ribu tenaga kerja di seluruh rantai produksinya. Selain kontribusi terhadap lapangan pekerjaan, industri ini juga menyumbang signifikan terhadap penerimaan negara.
“IHT juga memberikan kontribusi signifikan terhadap penerimaan negara, dengan rata-rata 10% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang bersumber dari cukai hasil tembakau,” jelas Sudarto.
Ia menambahkan bahwa industri ini menciptakan efek berganda yang positif terhadap perputaran ekonomi daerah, terutama karena keterkaitannya dengan sektor pertanian dalam negeri dan UMKM di bidang ritel.
Baca Juga: Jepang Luncurkan Kebijakan Ekonomi Darurat, Ada Apa?
Atas dasar itu, FSP RTMM-SPSI mendesak pemerintah agar memberikan perlindungan dan keadilan berusaha bagi pelaku industri, baik dari sisi pekerja maupun pengusaha.
“Supremasi hukum ketenagakerjaan diperlukan untuk melindungi pekerja dan menjaga persaingan sehat antar pelaku industri,” tegas Sudarto.
Ia juga menyuarakan kekhawatiran terhadap regulasi terbaru, yakni Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024, yang dinilai berpotensi menghambat kelangsungan IHT dan menimbulkan gelombang Pemutusan Hubungan Kerja (PHK).
Menurut data laman Satu Data Ketenagakerjaan Kemnaker, jumlah pekerja yang terkena PHK mencapai 18.610 orang per Februari 2025—angka ini melonjak hampir enam kali lipat dari bulan Januari yang mencatat 3.325 PHK.
Sudarto juga menyoroti sejumlah pasal dalam PP 28/2024 yang dianggap bermasalah, seperti larangan zonasi 200 meter untuk penjualan produk tembakau, pengaturan Gula, Garam, Lemak (GGL), serta wacana standar kemasan polos tanpa merek yang diatur dalam Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan sebagai turunan dari PP tersebut.
Baca Juga: Menkes Ungkap Cuma Anak Orang Kaya yang Bisa Pendidikan Dokter Spesialis
“Regulasi-regulasi tersebut akan memberikan dampak negatif yang signifikan terhadap keberlangsungan industri padat karya yang menyerap tenaga kerja dalam jumlah besar dan memberikan kontribusi besar terhadap penerimaan negara,” ujarnya.
Ia menyerukan pemerintah untuk membuka ruang dialog yang setara kepada perwakilan pekerja, termasuk FSP RTMM-SPSI yang kini mewadahi 250.347 anggota. Ia juga menolak intervensi asing dalam pembentukan regulasi nasional, seperti yang tercermin dalam PP 28/2024 yang dinilainya merupakan produk dari Framework Convention on Tobacco Control (FCTC).
“Kami, serikat pekerja, siap mendukung kebijakan pemerintah untuk memastikan terjaminnya kesehatan dan kesejahteraan pekerja. Hal ini juga sejalan dengan kepentingan ekonomi nasional, khususnya dalam perlindungan terhadap industri padat karya. Tidak ada negara lain yang seunik Indonesia, jadi pemerintah jangan mau didikte oleh negara lain yang tidak memiliki industri seperti kita,” tegas Sudarto.
Tak hanya itu, Sudarto juga mendorong kebijakan fiskal yang lebih berpihak pada pekerja, seperti pemberian insentif pembebasan Pajak Penghasilan (PPh) 21. Ia meminta agar perluasan cakupan dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) 10/2025 mencakup pekerja padat karya di sektor IHT serta makanan dan minuman, dua sektor yang selama ini belum mendapat insentif tersebut meski merupakan penyerap tenaga kerja terbesar.
Rekomendasi ini, imbuh Sudarto, sejalan dengan arah kebijakan Presiden Prabowo yang menekankan pentingnya deregulasi untuk menjaga momentum pertumbuhan ekonomi nasional.