Ntvnews.id, Jakarta - Supriyani, seorang guru honorer di SDN 4 Baito, Desa Wonua Raya, Kecamatan Baito, Kabupaten Konawe Selatan (Konsel), Sulawesi Tenggara, harus berurusan dengan hukum setelah menghukum muridnya yang berinisial D (6).
Hal yang membuat kasus ini semakin rumit, D adalah anak dari Aipda Wibowo Hasyim, seorang anggota kepolisian Polsek Baito. Akibat dari insiden ini, Supriyani ditangkap oleh polisi hingga menuai atensi dari Reza Indragiri selaku psikolog forensik.
"Anggaplah pemukulan itu terjadi. Tapi sadarkah kepolisian setempat bahwa—mengacu pemberitaan media—cara mereka menangani kasus ini justru bisa melukai hati masyarakat?" ujar Reza dalam keterangan resminya pada Selasa, 22 Oktober 2024.
Ia menilai penanganan yang terkesan eksesif ini bisa menciptakan jarak antara polisi dan masyarakat yang mereka layani. Reza menyinggung konsep hyper-criminalization, yakni kecenderungan otoritas untuk melihat peristiwa kecil sebagai kejahatan besar.
Ilustrasi Siswa Sekolah Dasar (Pixabay)
“Betapa otoritas kepolisian dengan mudahnya melihat peristiwa minor dengan kacamata kriminalitas semata. Dengan kacamata sedemikian rupa, konteks pendidikan serta-merta pupus. Kemungkinan hukuman guru bertali-temali dengan kenakalan murid pun sirna dari cermatan,” kata Reza.
Lebih lanjut, Reza mempertanyakan apakah tindakan Supriyani, sebagai seorang guru, benar-benar seburuk itu hingga harus dipenjara. "Sebengis apakah, selicik apakah, sebejat apakah, sejahat apakah Bu Guru itu sampai harus dijebloskan ke sel tahanan?" tanya Reza.
Ia juga mempertanyakan apa sebenarnya tujuan dari tindakan hukum tersebut dan apakah penjara adalah solusi yang tepat bagi Supriyani jika ia terbukti bersalah. Reza juga mengingatkan tentang komitmen Kapolri Listyo Sigit dalam menerapkan restorative justice.