McKenna, seorang perempuan berusia 24 tahun dari negara bagian konservatif AS, juga menyatakan ketertarikan pada gerakan 4B setelah kemenangan Trump. "Menyedihkan mengetahui bahwa di negara ini Anda hanya dianggap berarti jika Anda adalah pria kulit putih," ungkapnya kepada The Guardian.
Baca Juga: Ucapkan Selamat, Putin Ungkap Siap Berunding dengan Trump
Gerakan 4B dimulai di Korea Selatan pada 2018, di tengah maraknya gerakan #MeToo, sebagai protes terhadap misogini, diskriminasi gender, dan kekerasan terhadap perempuan. Minat baru pada gerakan ini di AS muncul setelah pemilu, di mana isu gender berperan besar. Kemenangan Trump dianggap sebagai ancaman tambahan bagi hak-hak reproduksi perempuan AS.
Trump sendiri memiliki pandangan berbeda mengenai larangan aborsi secara nasional. Awalnya, dia mendukung pembatasan aborsi secara legislatif di seluruh AS, namun kemudian menyatakan hal itu sebaiknya ditentukan oleh masing-masing negara bagian.
Menurut Sarah Liu, dosen senior bidang gender dan politik di Universitas Edinburgh, Inggris, partisipasi perempuan AS dalam seruan mogok seks terkait gerakan 4B bergantung pada akses mereka terhadap sumber daya. "Fakta bahwa begitu banyak perempuan AS mencari gerakan 4B di Google menunjukkan betapa tidak ramahnya lingkungan yang mereka hadapi. Terpilihnya Trump mengingatkan banyak perempuan bahwa patriarki masih kuat di AS," ujarnya.
Liu menambahkan bahwa strategi kreatif seperti mogok seks dapat memungkinkan perempuan AS menjadi bagian dari gerakan global, di mana mereka secara diam-diam menolak ekspektasi gender dalam hubungan heteroseksual. Namun, dia juga memperingatkan bahwa gerakan ini bisa menimbulkan reaksi negatif dari laki-laki.
Newsweek mencatat bahwa mogok seks telah menjadi bentuk protes di berbagai negara, termasuk Kolombia, Kenya, Liberia, Italia, Filipina, Sudan Selatan, dan Togo.