"Ini bermasalah ketika mencari mitra untuk menjadi pasangan dalam pencalonan pilkada," tambahnya.
Dari situasi ini, Bima menjelaskan, muncul fenomena "kawin paksa", di mana calon kepala daerah terpaksa berpasangan dalam pilkada meski tidak ada kecocokan pribadi.
Beberapa riset menyebutkan bahwa sekitar 50 hingga 60 persen dari fenomena ini menyebabkan terjadinya konflik antara kepala daerah dan wakil kepala daerah.
Menurutnya, kondisi seperti ini tidak bisa dibiarkan terus-menerus. Oleh karena itu, diperlukan asesmen terhadap sistem pemilu.
"Salah satu opsi yang perlu dikaji adalah ambang batas (threshold), dengan memastikan bahwa jumlah calon tidak terlalu banyak, sehingga tidak ada calon tunggal," jelas Bima.
Bima menekankan bahwa langkah ini penting untuk menjaga kualitas demokrasi serta memberikan kesempatan bagi masyarakat untuk memilih pasangan calon yang layak dalam pilkada.
"Harus dibatasi supaya tetap pada demokrasi atau di bawahnya juga jangan terlalu tinggi supaya kita leluasa. Jadi bisa maju, kemudian calon wakilnya pun bisa dengan leluasa orang yang memiliki chemistry dengan calon kepala daerahnya," pungkasnya.